Sesi dialog usai pemutaran film Serenada di FEB UGM, pada 25 April 2025. (dok. kabarkota.com)
SLEMAN (kabarkota.com) – “Kalau kita mengalah terus menerus, apakah kita akan menyelesaikan masalah? Apakah kita tidak dibikin didominasi terus menerus? Dan sampai kapan kita akan menjadi…” Rara tak bisa lagi melanjutkan kata-katanya, saat memberikan testimoni atas film Serenada yang baru saja diputar di ruangan tersebut.
Dengan memegangi mik, perempuan berjilbab cokelat ini tertunduk diam, sebisa mungkin menahan air matanya, tapi tak kuasa. Air matanya mengalir deras di balik kacamatanya.
Seisi ruangan terdiam, hening. Host acara yang juga konselor Lembaga Advokasi Keluarga Indonesia (LAKI), Nur Rohmah Itsnaini, berusaha menenangkannya. Lalu seorang pria datang membawakan tisu, dan memegangi mik dari Rara. Perlahan Rara menghapus air matanya dan kembali tenang.
Usai acara, mahasiswi bernama lengkap Azzahra Ahda Sabila mengaku sangat emosional karena film tersebut relate (berhubungan) dengan kehidupannya.
“Kebetulan… masalah yang saya hadapi sedikit banyak seperti itu,” ungkap Rara usai mengikuti Acara Pemutaran Film dan Dialog bertajuk “Cinematerapy: From the Screen to the Soul” di FEB UGM, pada 25 April 2025.
Hanya saja, Rara tak sependapat bahwa komunikasi bisa menyelesaikan masalah antara orang tua dan anak. Sebab, ketika dirinya melakukan itu, permasalahnnya tetap tak terselesaikan, karena masing-masing pihak punya perspektif berbeda sehingga menimbulkan selisih paham.
“Jadi, bisa dibilang saya terjebak di masalah itu yang berulang terus-menerus, karena tidak adanya kesamaan paham,” sambungnya.
Namun demikian, Rara berharap, melalui kegiatan seperti ini, pihaknya sebagai generasi muda yang nantinya juga akan menjadi orang tua bisa lebih terbuka dan sadar tentang perbedaan perspektif antara orang tua dan anak yang bisa memengaruhi mental health (kesehatan mental) seseorang.
Situasi emosianal tak hanya dirasakan rara, salah seorang audiens, Dewi yang posisinya sebagai orang tua juga merasakan hal yang tak jauh berbeda. Ia bahkan juga sempat terbata-bata menahan tangis, saat mengunkapkan perasaanya usai menonton film tersebut.
Selain karena teringat ayahnya yang telah tiada, Dewi juga merasa bahwa selama ini sering memaksakan kehendak kepada anak-anaknya yang kini menempuh pendidikan di Pondok Pesantren. “Mana ada anak yang mau pisah dari orang tuanya?” ucap Dewi terisak.
Dewi berpandangan bahwa orang tua seringkali menuntut anak menjadi seperti kemauan orang tuanya karena pada dasarnya mereka ingin memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Namun, hal itu lebih cenderung mengabaikan perasaan anak-anaknya.
Dewi mengamini bahwa komunikasi antara orang tua dan anak itu sangat penting dilakukan sehingga bisa saling mengerti dan memahami perasaan.
“Ini kesempatan kita untuk memperbaiki diri, baik sebagai anak maupun juga orang tua,” anggapnya.
Film Serenada memotret Fenomena Konflik Orang Tua dan Anak
Project Manager Film Serenada, Febri Tugas Pratama menjelaskan, Film pendek yang ia produksi ini menggambarkan tentang fenomena perseteruan antara ayah (Bapak) dan anak laki-laki (Lanang) yang egonya sama-sama besar sehingga kemunikasinya tidak efektif.
“Itu seringkali terjadi di masyarakat,” tegasnya. Padahal, seharusnya berkomunikasi itu bisa memberi ruang untuk menyampaikan pendapat, dan mengungkapkan perasaan mereka masing-masing.
“Pesan film ini, berkomunikasi tanpa emosi dulu. Ketika berdikusi, emosinya dikesampingkan dulu supaya lebih clear. Tidak ada nada tinggi dan saling membentak, jadi semuanya netral,” paparnya.
Dalam produksi film yang mengisahkan tentang anak muda dan generasi sekarang ini, pihaknya mengaku telah berdiskusi LAKI, karena mereka yang telah melakukan riset di sekolah-sekolah.
Film sebagai Sarana Kampanye #connecttocare terhadap Kesehatan Mental
Sementara itu, Rennta Chrisdiana sebagai salah satu pemrakarsa acara dari Yayasan Rumpun Nurani Yogyakarta menyampaikan bahwa selama ini, pihaknya bersama LAKI memiliki program school based mental heath dengan kampanye #connecttocare.
Melalui hastag itu, jelas Rennta, Jadi, pihaknya ingin menyebarkan pesan tentang pentingnya koneksi untuk meningkatkan kepedulian pada diri sendiri dan orang lain, terutama dengan relasi terdekat, seperti keluarga, sahabat, kerabat, teman.
“Jadi, kami membangun community of care, komunitas saling peduli yang semakin ditingkatkan,” tuturnya. Mengingat, pasca pandemi Covid-19, terdeteksi semakin meningkatnya permasalahan atau kasus terkait dengan gangguan kesehatan mental, terutama di kalangan generasi muda.
“Kami memilih sasaran pemuda atau youth karena selain mereka berada dalam kondisi krisis di siklus kehidupannya,” ucapnya.
Di waktu yang sama, sebut Rennta, kondisi sekarang sangat gelap sehingga anak-anak muda seperti tidak bisa melihat cahaya, baik dari sisi diri sendiri maupun relasi terdekat. Itu didasarkan pada hasil risetnya pada dua sekolah yang menjadi pilot project penelitian mereka.
“Masalah utama mereka adalah kurangnya dukungan orang dewasa,” ungkapnya.
Hal itu juga yang mendorong Yayasan Rumpun Nurani dan LAKI menggandeng kru film dari cakra visual untuk merefleksikan cerita terkait mereka sebagai anak dan siswa, yang diwujudkan dalam empat karya film berdurasi pendek. Yakni: Serenada, Diorama, Memoar, dan Phytagoras.
Rennta menganggap, film bisa menyajikan satu cerita yang bisa typing pada perasaan terdalam, yaitu narasi di tengah kelelahan berfikir secara intelektual.
“Film juga menyajikan cerita yang hampir nyata sehingga kami berharap ada refleksi yang nyambung,” katanya.
Ketika itu sudah bisa direfleksikan, sambung dia, maka level berikutnya adalah dialog. Oleh karena itu, pihaknya memfasilitasi para audiens tidak sekadar menonton tetapi juga berdialog, melalui acara Berlayar: Screening Film dan Dialog Bermakna, Cinematerapy: From the Screen to the Soul” yang digelar bekerja sama dengan FEB UGM ini. (Rep-01)