BANTUL (kabarkota.com) - Minoritas Penghayat di tanah air terdiskriminasi di wilayah administratif. Mereka dipaksa memilih salah satu dari enam agama yang diakui keberadaannya di Indonesia untuk bisa mengurus administrasi.
“Isu penghayat masih minim yang tahu. Selama puluhan tahun kita dikonstruk oleh institusi pendidikan hanya ada enam agama dan menegasikan agama yang lain. Mensimplifikasi masyarakat bahwa di luar yang enam adalah bukan agama,” ungkap aktifis toleransi, Hafi Zen dalam acara pemutaran dan diskusi film dokumenter tetang kehidupan minoritas penghayat di Cigugur, Jawa Barat dan Kulon Progo, DIY (27/8/2016) di Pendopo Lkis.
Dalam diskusi, Hafi menjelaskan hak warga negara untuk beribadah sesuai dengan kepercayaan sudah di atur dalam UUD 1945 Pasal 28 E. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Hafi mengatakan dipaksanya minoritas penghayat untuk memilih salah satu dari enam agama yang diakui negara untuk mengurus administrasi, menjadi wujud inkonsitensi negara dalam menerapkan peraturan. Ia menyayangkan peran negara yang harusnya melindungi warga negaranya, justru mendiskriminasi minoritas penghayat untuk memilih kepercayaan yang tidak mereka yakini.
“Mereka terpaksa memkonversi agama. Karena jika mengganti kolom agama dengan penghayat akan menyulikan mereka dalam hal pekerjaan dan pendidikan,” jelasnya.
Di Kulon Progo, tambah Hafi, sudah ada surat edaran dari pemerintah tentang layanan kependudukan bagi minoritas penghayat. Namun, menurutnya di level kepala desa layanan tersebut tidak berjalan, karena birokrat di desa masih menganggap kepercayaan mereka bukan agama.
“Tidak semua penghayat mau dicatat sebagai anggota. Mereka hanya ikut ritual. Mereka masih takut untul dicatat,” tandasnya.
Film maker, Ady Mulyana dalam diskusi mengatakan, di Indonesia intoleransi sangat masif terjadi. Negara dalam hal ini berperan dalam mengkonstruk intoleransi dengan mengakomodir masyarakat dalam beragama.
“Ada hal mendasar yang membuat saya marah. Ada diskriminasi yang sangat terstruktur. Bhineka Tunggal Ika sangat kuat, tapi banyak intoleransi di sekitar kita. Terutama dalam hal administratif,” jelasnya.
Minoritas penghayat Sunda Wiwitan, di Cigugur, Jawa Barat dijelaskan, Sunda Wiwitan mengajarkan untuk menghargai setiap perbedaan, melarang diskriminasi, menjaga mahluk hidup, dan tata krama bersosial.
Salah satu penganut Sunda Wiwitan Anih (14) dalam film dokumenter berjudul Katarangan Ciremai karya Ady Mulyana menggabarkan kondisi objektif dirinya. Ia terpaksa memilih agama Khatolik untuk mengurus administrasi di sekolah karena Sunda Wiwitan tidak diakui. Harapan agar Sunda Wiwitan diakui negara disampaikan Anih dalam film.
“Penghayat dipaksa memilih agama. Film saya sebenarnya belum selesai, ada faktor pola yang bisa saya perpanjang,” pungkas Ady (Rep-04/Ed-01)