Negara Dinilai Gagal Paham soal Pendidikan di Papua

Talkshow Strategi Pembangunan dan Pendidikan di Papua, di UGM, Sabtu (31/10).(Sutriyati/kabarkota.com)

SLEMAN (kabarkota.com) – sejarah panjang pendidikan di Papua seharusnya menjadikan masyarakat di wilayah tersebut menjadi pintar. Namun, yang terjadi, para lulusan yang kini telah menjadi pejabat justru lupa pada identitasnya sebagai orang Papua.

Bacaan Lainnya

Hal itu seperti diutarakan, Peneliti Muda Yayasan Pembangunan Masyarakat Desa (YPMD) Papua, Markus Binur dalam Talkshow Strategi Pembangunan dan Pendidikan di Papua, di UGM, Sabtu (31/10).

"Negara gagal paham tentang Papua, tapi orang-orang Papua juga gagal paham terhadap identitas dirinya," kata Max panggilan akrab Markus.

Ia mencontohkan, sekolah-sekolah lebih banyak mengajarkan bahasa Inggris daripada bahasa daerah sehingga sulit dipahami oleh anak-anak Papua.

Selain itu, buku-buku terbitan Pemda atau pun pemerintah pusat justru tidak banyak diajarkan oleh para guru karena dianggap tidak sesuai dengan kebudayaan lokal di Papua.

"Identitas kami di-drive oleh kebijakan-kebijakan yang tidak memberi ruang untuk berkembang," anggapnya.

Buku-buku cerita rakyat dengan bahasa Papua yang dulu sering dipakai untuk mengajar anak-anak, sekarang justru sudah tidak ada lagi.

Iriandi Tagihuma selaku Koordinator Komunitas Sastra Papua menyampaikan bahwa pendidikan pertama di Papua masuk sekitar tahun 1856 yang dibawa oleh para misionaris, Ottow dan Gessler. Ketika itu, mereka mendirikan sekolah Pengadaban di Pulau Mansinam Manokwari.

Namun kemudian diambil-alih oleh Belanda untuk pendidikan bagi calon aparat pemerintahan di kampung-kampung, dengan pendidik I.S Kijne dan Yoka.

Pada tahun 1940-an, pendidikan Belanda terputus dan para guru yang ketika itu sempat menerbitkan buku-buku cerita rakyat berbahasa daerah dan Melayu pun dipindahkan.

"Semua kurikulum Belanda dihilangkan menjadi kurikulum Negara Indonesia," ungkapnya. Padahal sebenarnya, imbuh Andi, pendidikan di era kolonial Belanda mutunya sudah disamakan dengan kualitas Eropa dengan melihat potensi masyarakat di Papua.

Sementara I Ngurah Suryawan, Dosen Fakultas Sastra di Universitas Negeri Papua (Unipa) berpendapat bahwa semestinya pendidikan di wilayah tersebut dikembalikan pada pendidikan bahasa ibu, melalui media pembelajaran berupa buku-buku cerita rakyat.

Dengan begitu, anak-anak bisa belajar dan berkembang di dalam dunianya, serta lebih merasa percaya diri dengan proses pembelajarannya karena dekat dengan keseharian.

"Bahasa Indonesia bagi sebagian rakyat Papua susah dipahami jika awalnya mereka menggunakan bahasa ibu. Tapi jika dengan menggunakan bahasa ibu itu, mereka bisa mengekspresikan ide-idenya dengan lebih leluasa," ujarnya.

SUTRIYATI

Pos terkait