PSAD UII turut serta dalam Aksi publik Forum Cik Ditiro di Yogyakarta, pada Jumat (14/2/2025). (dok. humas UII)
SLEMAN (kabarkota.com) – Pusat Studi Agama dan Demokrasi Universitas Islam Indonesia (PSAD UII) Yogyakarta mengusulkan agar Presiden Prabowo Subianto meninjau ulang postur Kabinet Merah Putih, melalui reshuffle pada pos-pos menteri dan wakil menteri yang saling tumpang tindih. Mengingat, postur kabinet di era Pemerintahannya saat ini terlalu gemuk.
Direktur PSAD UII Yogyakarta, Masduki berpendapat bahwa hal itu penting sebagai upaya menekan dampak buruk pemangkasan anggaran negara. Sekaligus, menjaga agar kebijakan ini selaras dengan nilai-nilai demokrasi, dan hak warga negara.
Sementara untuk lembaga-lembaga strategis yang menjadi pilar demokrasi pasca reformasi 1998, seperti KY, MK, Komnas HAM, BRIN, lembaga penyiaran publik, semestinya tidak terkena pemangkasan anggaran. Termasuk, program-program yang menyasar aspek pendidikan, kesejahteraan sosial, dan pemerataan.
“Jangan sampai kebijakan itu justru memaksa lembaga-lembaga negara strategis, dan mengurangi layanan dasar hak warga negara yang disertai gelombang PHK maupun work from home,” harapnya.
Pemangkasan anggaran negara, lanjut Masduki, harus tetap memperhatikan prinsip keberlanjutan demokrasi, dan tata kelola pemerintahan yang bersih, terbuka, dan partisipatif. Hak kontrol dari DPR dan masyarakat harus dihormati dan menghindari terjadi sentralisme pengambilan keputusan pada figur Presiden.
“Ancaman Presiden terhadap pihak-pihak yang tidak setuju pemangkasan beraroma otoriterisme,” anggapnya. Pemerintah harus bertanggung jawab langsung memulihkan segala akibat yang dirasakan masyarakat atas kebijakan pemangkasan anggaran, yang sebelumnya dilakukan dengan serampangan.
Berbagai usulan tersebut disampaikan PSAD UII bertepatan dengan satu tahun Pilpres 2024, yang dimenangkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Sebab, kini muncul kebijakan kontroversial pemangkasan anggaran Kementerian dan Lembaga (K/L) negara, yang mencapai angka sekitar Rp 306,69 trilyun. Penghematan anggaran itu dituangkan dalam Instruksi Presiden No. 1/2025 dan Surat Menteri Keuangan No. S-37/MK-02/2025.
PSAD UII berpandangan bahwa pemangkasan anggaran tersebut berimplikasi terhadap hak-hak warga negara dalam negara demokrasi. Diantaranya, transparansi publik yang minim, dan sarat dengan agenda politik. Bahkan, dalam persepsi publik, kebijakan pemangkasan anggaran untuk pembiayaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang merupakan salah satu janji politik Prabowo – Gibran, saat kampanye Pilpres 2024 lalu. Selain itu, juga untuk pelunasan beragam utang proyek infrastruktur era Jokowi.
“Artinya, ada beban hutang rezim masa lalu yang ugal-ugalan, dan masyarakat harus menanggung dampak negatifnya,” sambung Masduki.
Selain itu, terjadi kontradiksi antara kebijakan penghematan anggaran dengan postur kabinet Merah Putih yang sangat gemuk. Ada fenomena inkonsisten dalam kebijakan dan tindakan Pemerintah yang memangkas anggaran. Di satu sisi, pemerintah melakukan penghematan anggaran. Namun, di sisi lain, postur kabinet yang terlalu gemuk justru boros anggaran.
Bagi dunia usaha maupun instansi pemerintahan lainnya, fenomena PHK massal di beberapa lembaga negara / kementerian maupun swasta menunjukkan hilangnya hak warga untuk bekerja.
Ditambah lagi ancaman lumpuhnya lembaga negara strategis seperti Komnas HAM, MA, KY; MK, dan BRIN sebagai pilar demokrasi dan layanan hak dasar perlindungan hukum dan informasi publik.
Namun demikian, pada dasarnya, PSAD sepakat dengan kebijakan penghematan anggaran negara. Sebab, selama lebih dari dua dekade pasca reformasi 1998, budaya kerja birokrasi pemerintahan cenderung boros, dengan mengutamakan pos perjalanan dinas, dan administratif.
“Penghematan juga penting agar anggaran dapat diredistribusi ke sektor yang lebih memerlukan dan langsung berkait layanan publik,” ucapnya.
Hanya saja, PSAD menekankan pentingnya kajian mendalam dan komprehensif sebelum pengambilan kebijakan. Sebab, pemangkasan anggaran tanpa disertai kajian komprehensif, beresiko besar terhadap pelanggaran hak-hak dasar warga negara. Itu akan menunjukkan kinerja buruk Prabowo dan Gibran sebagai produk dari Pilpres yang juga buruk, pada 14 Februari 2024.
Bahkan, PSAD mencatat bahwa Pilpres 2024 merupakan Pilpres terburuk sepanjang sejarah demokrasi di Indonesia, karena diwarnai dengan puncak perilaku politik dinasti yang disertai politik uang, pembagian sembako, dan pengerahan aparat penyelenggara negara.
“Sejak 2024, Indonesia memasuki masa politik musim dingin, demokrasi yang beku. Pelanggaran konstitusi dipimpin langsung oleh mantan Presiden Jokowi, demi kepentingan keluarga, bukan kepentingan bangsa,” sebutnya.
Oleh karena itu, PSAD menyatakan, peringatan seperti ini perlu agar masyarakat sipil tetap waspada, menjaga kewarasan berbangsa, serta mimpi besar menjadi negara demokrasi tetap tertanam dalam jiwa. (Ed-02)