Prihatin Pasien Indonesia Berobat ke Luar Negeri, “Medical Tourism” di Yogya Mulai Digarap

seminar medical tourism di Queen Latifa Hospital Yogyakarta, pada Rabu (16/7/2025). (dok. kabarkota.com)

SLEMAN (kabarkota.com) – Selama ini, banyak masyarakat Indonesia yang lebih memilih melakukan medical tourism (wisata medis) ke luar negeri dibandingkan berobat di Rumah Sakit (RS) dalam negeri.

Merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 76 tahun 2015, wisata medis adalah perjalanan ke luar kota atau dari luar negeri untuk memperoleh pemeriksaan, tindakan medis maupun pemeriksaan kesehatan lainnya di RS.

Bacaan Lainnya

Sedangkan berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI (2023), lima negara favorit yang menjadi tujuan medical tourism masyarakat Indonesia, yakni: Malaysia, Singapura, Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UAE), dan Korea Selatan. Adapun pengobatan yang paling banyak mereka lakukan di negara-negara tersebut antara lain: Medical Check Up (65,7persen); pengobatan kanker (25,7 persen); tindakan bedah atau operasi (19,2persen); serta perawatan kesehatan reproduksi danKesehatan Ibu-Anak (7,3 persen).

Kondisi tersebut mengundang keprihatinan dari para pengelola RS, tak terkecuali di Daerah Istimewa Yogyakarta. Mengingat, pengobatan-pengobatan tersebut sebenarnya bisa dilayani di Fasilitas Kesehatan (Faskes) di negeri sendiri. bahkan kualitasnya tak kalah bagus dengan RS di luar negeri.

Hal itulah yang mendorong Queen Latifa Hospital Yogyakarta menggelar Seminar Medical Tourism, pada Rabu (16/7/2025).

Direktur Utama (Dirut) Queen Latifa Hospital Yogyakarta, Sigit Riyanto mengungkapkan, seminar ini bertujuan untuk mensosialisasikan medical tourism kepada para pelaku wisata di DIY, seperti Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), dan agen perjalanan wisata.

“Yogyakarta sebagai salah satu kota tujuan wisata utama di Indonesia juga berpotensi menjaring wisatawan untuk berwisata medis di sini,” kata Sigit kepada kabarkota.com, di Queen Latifa Hospital Yogyakarta. Terlebih, medical tourism yang ada di Yogyakarta saat ini sudah berkembang cukup baik.

Di Queen Latifa Hospital pun, sebut Sigit, memiliki layanan khusus berupa medical check-up, home care, home lab, stem cell centern, Queen Lativa Pavilion, dan 911 Travel Clinic. “Layanan unggulan kami adalah stem cell dan secretome. Itu adalah layanan yang merupakan cell regeneration, kalau bahasa awamnya menjaga kebugaran supaya awet muda. Ini potensi sangat besar. Kami sudah ada sejak bulan Febuari dan sudah ada ratusan orang yang memanfaatkan layanan itu dengan hasil yang memuaskan,” ungkapnya.

Pihaknya berharap, dengan adanya pertemuan kali ini, RS bisa bekerjasama dengan para pelaku wisata untuk bersama-sama mengembangkan medical tourism di DIY.

Selain itu, Sigit menganggap, medical menjadi salah satu upaya untuk mencegah eksodus Warga Negera Indonesia (WNI) untuk berobat ke luar negeri. Sekaligus meraih pasar, mereka yang pergi berwisata ke Yogyakarta bisa memanfaatkan layanan kesehatan di sini.

Direktur Utama Queen Latifa Hospital Yogyakarta, Sigit Riyanto. (dok. kabarkota.com)

Dispar DIY: Pengembangan Wisata Medis butuh Dukungan Lintas Sektor

Dalam paparan materinya, Kepala Bidang Pengembangan Destinasi Wisata Dinas Pariwisata (Dispar) DIY, Antarikso Trisno Bawono menjelaskan, potensi pengembangan wisata medis di DIY didukung oleh ekosistem pariwisata, seperti potensi wisata alam dan budaya yang beragam, aneka eventm kuliner yang bervariasi, akomodasi hotel dan restoran yang memadahi, dan dukungan dari asosiasi pariwisata.

Aksesibilitas, seperti konektivitas jalan dengan jangkauan luas termasuk jalan tol, bandara internasional yang melayani perjalanan domestik, serta transportasi umum yang cukup mendukung, menurut Antarikso, juga menjadi faktor pendukung pengembangan wisata medis di DIY.

Selain itu, pengembangan wisata medis ini juga memerlukan dukungan ekosistem kesehatan yang memadahi. Medical tourism ini harus diberengi dengan pengembangan pelayanan unggulan yang dimiliki oleh RS pemerintah maupun RS swasta yang telah terakreditasi nasional dan internasional yang diakui oleh Kemenkes RI. Selain itu juga harus dilakukan oleh para dokter yang memiliki kompetensi unggulan, serta dilaksanakan secara terpadu dengan kegiatan pariwisata pada daerah destinasi.

Antarikso menyebut, saat ini sudah ada empat RS di DIY yang bersertifikat Heath Tourism. Empat RS yang dimaksud, yakni RS JIH, RSUP Dr. Sardjito, RSA UGM, dan RS Bethesda Yogyakarta. “Harapan kami Queen Latifa Hospital juga mengajukan sertifikasi supaya bisa memenuhi standar itu,” sambungnya.

Menurutnya, wisata medis sebagai bagian dari wisata kesehatan (health tourism) dapat berupa wisata medis berbasis layanan unggulan, wisata kebugaran dan herbal berbasis spa maupun pelayanan kesehatan tradisional dan herbal, wisata olahraga kesehatan berbasis event olahraga, dan wisata ilmiah kesehatan berbasis MICE.

“Kalau wisata medis yang lebih spesifik, seperti wisata ilmiah kesehatan berbasis medis mungkin perlu sentuhan dari berbagai pihak, karena ini memerlukan treatment khusus sehingga tidak bisa berjalan sendiri,” ucapnya. Artinya, pihak RS memerlukan dukungan dari pihak lain, seperti pemerintah dan sektor-sektor terkait, termasuk pelaku industri.

Usulan Jogja Health Tourism Board

Sementara itu, Ketua Malang Health Tourism Board, Ardantya Syahreza menyampaikan bahwa seringkali keberhasilan pasien Indonesia yang pergi luar negeri itu karena ada agen di Indonesia. Mereka tidak hanya menggelar pameran-pameran, tetapi juga yang bisa menjembatani komunikasi pertanyaan pasien, menelusuri harga, mengatur akomodasi, hingga memberangkatkan mereka ke luar negeri dengan nyaman.

“Jadi, peran biro perjalanan wisata tidak kalah penting. Problemnya, para pelaku bisnis tour and travel tidak pernah meng-handle bisnis ini,” sesalnya.

Oleh karena itu, pihaknya mengusulkan terbentuknya Jogja Health Tourism Board sebagai upaya untuk meningkatkan kolaborasi antara RS, Pemerintah Daerah (Pemda), sektor transportasi, asuransi kesehatan, perhotelan dan perjalanan wisata.

Ardantya berpandangan bahwa keuntungan dari adanya Jogja Health Tourism Board dan wisata kesehatan itu nantinya, mereka memiliki wadah tingkat nasional di bawah Kemenkes RI dan Kementerian Pariwisata, dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) untuk meningkatkan inovasi pelayanan kesehatan. Sekaligus, memiliki wadah produktif untuk kolaborasi lintas RS dan Wellness Center untuk menciptakan kekuatan wisata kesehatan daerah.

Pembentukan Jogja Health Tourism Board ini, ucapnya, bisa diawali dengan penyusunan struktur pengurus dan Dewan Penasihat yang merupakan kombinasi lintas sektor, seperti biro perjalanan wisata, RS, PHRI, IDI, PERSI, Dinas Kesehatan, Dispar, Universitas, dan instansi terkait lainnya. Sedangkan untuk pengajuan SK Tim Kerja tersebut nantinya dari Dinkes.

Pelaku Wisata di Yogya Sambut Baik Rencana Pembentukan Jogja Health Tourism Board

Peserta seminar, Suci Nur Aini. (dok. kabarkota.com)

Salah satu peserta seminar yang juga pelaku wisata di bidang perhotelan, Suci Nur Aini menyambut positif rencana pembentukan Jogja Health Tourism Board karena ini bisa menjadi wadah bersama untuk membantu pariwisata di DIY lebih bagus lagi. Nantinya, para pelaku wisata, khususnya di sektor perhotelan nantinya tidak lagi hanya bergantung kepada pariwisata atau hanya meeting saja, tetapi ada produk baru yang dikemas dalam bentuk wisata kesehatan.

“Rumah Sakit di Yogyakarta ini juga cukup bagus pelayanannya sehingga orang-orang yang sudah terbiasa medical check-up dulu, ke depannya bisa memilih berobat ke rumah sakit lokal di Yogyakarta yang lebih dekat, efisien waktu, dan murah,” harapnya. (Rep-01)

Pos terkait