Ilustrasi (sumber: loveindonesia.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) Universitas Islam Indonesia (UII), Eko Riyadi mengatakan, kebijakan mengharuskan warga negara mengisi kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Apabila hal tersebut dilakukan secara tidak langsung memaksa seseorang untuk memercayai kepercayaan yang belum tentu diyakini.
Eko memandang, polemik pengisian kolom agama di KTP berawal dengan adanya Undang-Undang PNPS Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Kemudian, ia melanjutkan, dalam kaitannya dinamika politik pada periode tersebut.
Waktu itu, Eko menjelaskan, aliran kerap dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada hal, katanya, adat istiadat dan aliran sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka.
"UU (PNPS Nomor 1 Tahun 1965) sudah tidak relevan lagi, harus direvisi. Kebutuhan politik pun saat ini sudah berubah," ujar Eko kepada kabarkota.com melalui sambungan telepon, Sabtu (15/11).
Eko menuturkan, pemerintah harus memberikan kebebasan kepada warganya, yakni dengan tidak memaksa mencantumkan agama atau kepercayaan yang hanya diakui pemerintah ke dalam KTP. Menurutnya, belum ada hasil penelitian yang menunjukkan konflik akibat pengisian agama di KTP, namun masalah yang muncul lebih pada urusan administrasi.
"Kalau agama yang dijadikan penyebab konflik, seperti diskriminasi pada aliran atau kepercayaan, ada," ucapnya.
Apabila pengisian kolom agama di KTP sudah dibebaskan, pihaknya meminta pemerintah merevisi UU yang barkaitan dengan agama. Pasalnya, ujar Eko, jika tidak ada revisian akan tetap berimplikasi pada warga negara yang menganut agama atau kepercayaan selain yang pemerintah akui, seperti dalam perkawinan dan pembagian hak waris.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri, Tjahyo Kumolo berencana mengosongkan kolom agama dalam KTP. Akan tetapi, rencana tersebut masih memperoleh beragam tanggapan, baik yang pro maupun kontra.
AHMAD MUSTAQIM