YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta dan Pemerintah Daerah (Pemda) DIY berencana merelokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Malioboro ke gedung eks Bioskop Indra, dan lahan bekas kantor Dinas Pariwisata, pada awal Januari 2022 mendatang.
Rencana relokasi tersebut diketahui setelah sejumlah paguyuban PKL mendapatkan sosialisasi tahap pertama dari Pemkot, melalui Kepala Dinas Kebudayaan (Disbud) Kota Yogyakarta, dan Unit Pelaksana Teknis Pengelolaan Cagar Budaya (UPT PCB), baru-baru ini.
Sosialisasi yang Mengagetkan dan Harapan PKL
Sosialisasi yang dilakukan secara bertahap kepada masing-masing paguyuban telah membuat kaget PKL hingga merasa keberatan atas rencana pemindahan tersebut. Berdasarkan penelusuran kabarkota.com, setidaknya ada sejumlah paguyuban PKL di Malioboro yang menyuarakan keberatan, sekaligus harapan mereka kepada pemerintah.
1. Paguyuban PKL Kuliner Malioboro
Ketua Paguyuban Angkringan Padma Malioboro, Yati Dimanto mengatakan, keberatan PKL ini salah satunya didasarkan pada situasi perekonomian mereka yang saat ini baru berusaha bangkit dari keterpurukan di tengah pandemi Covid-19 selama dua tahun terakhir. Selain itu, ada kekhawatiran soal ketidakpastian tempat usaha di lokasi yang baru nantinya.
“Pemkot menyampaikan bahwa PKL akan diberi tempat yang lebih bagus. Tapi menurut kami tidak bisa untuk berjualan karena terlalu sempit,” kata Yati kepada wartawan di Malioboro, pada Minggu (28/11/2021).
Pihaknya mengungkapkan, lokasi tempat berjualannya di sisi timur sekarang seluas 1.5 meter x 3 meter. Sedangkan di lokasi yang baru kemungkinan lebarnya hanya 1.15 meter, dan panjangnya kurang dari 3 meter.
Sekretaris paguyuban, Murtiningsih mengaku pihaknya akan dipindahkan ke gedung eks Bioskop Indra lantai 2, bersama dengan PKL yang berjualan aksesoris.
“Kami meminta kepada Walikota dan Gubernur, tolong perjuangkan kami para PKL. Beri kami sedikit kebebasan supaya bisa menyelesaikan tanggungan kami terlebih dulu,” harapnya.
Secara terpisah, Ketua Paguyuban PKL Handayani, Sogi Wartono juga menyatakan keberatannya atas rencana pemindahan PKL Malioboro dalam waktu dekat.
“Saya selaku yang dituakan dalam organisasi ini merasa keberatan karena ada beban berat yang masih ditanggung oleh anggota-anggota saya”, kata Sogy kepada kabarkota.com.
Seperti halnya Paguyuban Padma, Sogy juga meminta pemerintah agar menunda rencana relokasi PKL hingga tiga tahun mendatang sehingga para pedagang bisa menyelesaikan urusan hutang piutangnya.
2. Paguyuban PKL Tri Dharma
Suara keberatan juga datang dari Ketua Paguyuban PKL Tri Dharma, Rudiarto yang juga mengaku khawatir jika nantinya dagangan dari 918 anggotanya tidak laku di tempat baru. Mengingat, membangun pasar bukan perkara mudah. Ketersediaan infrastruktur yang lengkap dan memadai diperlukan sebagai fasilitas pendukung di tempat relokasi. Termasuk luasan lapak yang diperuntukkan bagi PKL.
Menurut Rudi, PKL Tri Dharma akan mendapatkan shelter sementara di atas lahan bekas kantor Dinas Pariwisata, dengan luasan variatif hingga 1.5 meter x 1.5 meter yang rata-rata untuk berjualan batik, dan kerajinan.
“Untuk luasan di shelter sementara, kemarin kami mendapatkan informasi dari Kepala Dinas (Kebudayaan), luasnya sama dengan yang kami tempati sekarang,” kata Rudi di kantornya, pada 27 November 2021.
Pasca sosialisasi dari pihak Pemkot, Rudi menyampaikan bahwa pihaknya telah mengumpulkan anggotanya secara bertahap untuk menjaring aspirasi mereka. Dari 26 kelompok PKL yang tergabugn dalam Koperasi Tri Dharma, sedikitnya 10 kelompok telah menyampaikan tiga opsi penyikapan. Pertama, menolak karena alasan kenyamanan berjualan, dan alasan ekonomi di masa pandemi Covid-19. Kedua, meminta penundaan 2-3 tahun sampai infrastruktur pendukung di lokasi yang baru benar-benar telah siap. Ketiga, menerima dengan sejumlah syarat. Diantaranya, fasilitas pendukung di tempat relokasi sudah lengkap, semua PKL dipindahkan secara serentak, ada kepastian usaha di tempat baru melalui promosi wisata, pemberian jatah hidup sesuai Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di Yogyakarta, legalitas usaha, serta adanya jaminan bahwa setelah PKL dipindahkan, maka lorong-lorong depat pertokoan maupun trotoar sepanjang Malioboro tidak lagi digunakan untuk berjualan.
“Kalau pun toh masalah relokasi itu tidak bisa ditawar dan kami harus pindah, maka keinginan saya, PKL anggota Tri Dharma tidak dipisah-pisah tempat relokasinya,” sambung Rudi. Hal itu untuk memudahkan komunikasi dan koordinasi antar-anggota, serta tidak ada tumpang tindih kepentingan antar-koperasi.
3. Paguyuban PKL Pemalni
Keberatan atas rencana pemindahan PKL juga disampaikan Ketua Umum Paguyuban Perajin, dan PKL Malioboro-Ahmad Yani (Pemalni), Slamet Santoso yang menganggap Malioboro akan kehilangan marwahnya jika PKL tidak lagi diizinkan berjualan di tempat sekarang.
Nantinya, PKL Pemalni yang rata-rata berjualan aksesoris akan mendapatkan tempat baru di gedung eks Bioskop Indra.
“Untuk ukurannya, kemarin kami masih negosiasi waktu sosialisasi, karena dapat kaplingnya kecil-kecil,” kata Slamet kepada kabarkota.com, 27 November 2021.
Slamet menyebutkan, ukuran lapak yang diperuntukkan bagi Pemalni hanya sepanjang 60 cm, lebar 70 meter, dan ketinggian 110 cm. Sementara yang diinginkan PKL, ukuran minimal 75 cm – 1 meter per kapling. Sedangkan jumlah anggota Pemalni saat ini tercatat sebanyak 444 pedagang yang berjualan souvenir, seperti kaos, gelang, dan dompet.
Lebih lanjut Slamet menaruh harapan jika nantinya Pemkot dan Pemda benar-benar akan memindahkan PKL, maka hal yang terpenting untuk diperhatikan adalah peningkatan kesejahteraan pedagang.
“Pengembangan infrastruktur pendukung seperti lokasi parkir juga perlu dipikirkan,” pintanya.
Ketua DPRD Kota Yogya: Penataaan bukan Penggusuran
Di lain pihak, Ketua DPRD Kota Yogyakarta, Danang Rudiyatmoko berpandangan bahwa dalam melakukan penataan PKL, ada banyak aspek yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dampaknya. Mengingat, Malioboro sudah menjadi ikon wisata, sekaligus tempat jual beli yang bisa tawar-menawar sehingga perlu dipikirkan keberlanjutannya.
“Intinya, ditata itu punya maksud agar lebih baik ke depannya. Hal yang harus dipastikan, yakni penataan tersebut harus konsisten. Jumlah PKL harus didata, persiapan tempatnya, dan bagaimana alur pengunjung Malioboro,” kata Danang saat dihubungi wartawan, 27 November 2021.
Danang menganggap, sosialisasi tahap pertama ini sebagai upaya untuk menjaring aspirasi PKL supaya outputnya tidak mengecewakan, dan sesuai harapan, serta tidak menimbulkan polemik.
“Jangan dipandang, seolah-olah penataan itu penggusuran,” tegasnya.
Eksekutif, lanjut Danang, perlu melakukan pendekatan yang sifatnya persuasif untuk bisa menampung harapan para PKL yang terdampak penataan. Termasuk, tidak memaksakan kebijakan kepada para pedagang.
“Eksekutif memahami benar bahwa perlu ada edukasi bukan pemaksaan,” sambungnya.
Kenyamanan pengunjung dan keberlangsungan ekonomi PKL yang telah dibangun selama bertahun-tahun semestinya juga menjadi bahan pertimbangan. Begitu juga dengan solusi bagi para pemilik toko, jika nantinya Maluoboro murni jadi jalur pedestrian.
Pemkot ingin Berikan Solusi Jangka Panjang bagi PKL
Sementara Pemkot dalam hal ini Disbud Kota Yogyakarta agaknya belum ingin banyak bersuara terkai dengan rencana relokasi PKL Malioboro.
“Nanti akan kami undang khusus (wartawan), dan akan kami sampaikan informasinya,” jawab Kepala Disbud Kota Yogyakarta, Yeti Martanti saat dihubungi wartawan melalui sambungan telepon, Minggu (28/11/2021).
Namun berdasarkan rekaman penggalan video saat sosialisasi Disbud kepada salah satu paguyuban PKL yang diterima kabarkota.com dari salah seorang sumber, Yeti menyampaikan bahwa sebenarnya Pemkot ingin memberikan solusi jangka panjang, melalui relokasi PKL, dan legalisasi usaha kepada semua PKL sehingga status mereka yang sekarang masih informal akan menjadi formal.
“Ini yang sedang kami upayakan agar PKL dalam melakukan aktivitas ekonominya ada jaminan kepastian,” papar Yeti. Terlebih, pemindahan PKL juga masih berada di dalam kawasan Malioboro. (Rep-01)