FR dan FS, bayi kembar siam dempet kepala yang ditangani RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta (sutriyati/kabarkota.com)
SLEMAN (kabarkota.com) – Sekitar tiga tahun terakhir, Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito Yogyakarta menangani kembar siam dempet kepala, berinisial FR dan FS asal Aceh. Sebelumnya, dua bocah perempuan yang kepala bagian atasnya menyatu ini, juga telah mendapatkan penanganan medis dari Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta dan menjalani operasi tahap pertama, pada 27 Juni 2015.
Ketua Tim Medis FR dan FS di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, Sunartini Hapsara mengungkapkan, kondisi yang dialami FR dan FS yang lahir pada 2 Mei 2015 ini terbilang kasus langka. Selain itu, kembar siam dempet kepala (Craniopagus) adalah suatu kelainan kongenital yang sulit ditangani.
Menurutnya, insiden kelahiran dengan kasus craniopagus ini diperkirakan sekitar 4-6 per 10 juta kelahiran. Kondisi mereka, sekitar 40% dari kelahiran kembar siam dalan keadaan meninggal, 35% mampu bertahan 24 jam setelah lahir, dab 25% lainnya bisa dilakukan operasi. Sedangkan parietal craniopagus atau kepala bagian atas menyatu sebagaimana yang dialami FR dan FS merupakan kasus yang paling umum terjadi.
“Setelah menjalani operasi yang sudah dilakukan sebanyak lima kali, anak tersebut sekarang bisa berjalan dan tumbuh kembangnya juga normal,” kata Sunartini, dalam jumpa pers di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, Senin (15/10/2018).
Penanganan terhadap kembar siam FR dan FS ini dilakukan oleh tiga rumah sakit, yakni RSUD Dr. Zaenoel Abidin Banda Aceh, RSPAD Gatot Subroto Jakarta, dan RSUP Dr Sardjito Yogyakarta.
FR dan FS tak Dilakukan Operasi Pemisahan
Ketua Tim medis dari RSPAD Gatot Subroto Jakarta, Agus Yunianto menjelaskan, meski telah menjalani lima kali operasi, namun pihak rumah sakit hingga kini tak melakukan operasi pemisahan kepala kedua bocah tersebut. Hal itu karena mempertimbangkan faktor keselamatan. Mengingat, pembuluh darah di kepala keduanya menyatu, sehingga ketika dipisahkan berisiko besar mengancam keselamatan jiwa mereka.
“Kemungkinan kegagalannya sangat tinggi,” ucap Agus. Meski begitu pihaknya menyatakan masih akan menunggu perkembangan hingga keduanya memiliki hak pilih sendiri untuk menentukan, ingin dipisahkan atau tidak.
Sementara mantan ketua Perhimpunan Spesialis Bedah Saraf Indonesia, Endro Basuki yang sejak awal menangani FR dan FS menambahkan, ada bagian tulang dari bagian kepala yang sempat dipotong sehingga keduanya kini bisa duduk dan berjalan.
Tim Psikologi juga Lakukan Pemantauan
Selain pengobatan fisik, tim dokter juga memberikan pendampingan psikologis dan sosial untuk menyiapkan anak, orang tua, dan kakak dari kedua bocah tersebut, selama berada di RSUP Dr. Sardjito. Termasuk, dengan melibatkan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) DIY, dan Pemerintah Daerah (Pemda) DIY, melalui Dinas Sosial.
Psikolog Pusat Tumbuh Kembang Anak RSUP Dr. Sardjito, Indria Laksmi Gamayanti mengaku, pendampingan dan pemantauan terhadap psikologis mereka sudah dilakukan sejak pertama kali mereka dirujuk ke Yogyakarta.
Secara umum berdasarkan hasil pemantauan psikologis dan pemeriksaan perkembangan keduanya setelah menjalani operasi I, papar Gamayanti, “Bayi FR dalam observasi tampak lebih aktif dan cenderung reaktif. Sementara bayi FS cenderung lebih diam dan sensitif perasaannya. Bayi FS juga lebih berhati-hati dan memperhatikan kehadiran orang baru”.
Ketua LPA DIY, Sari Murti Widyastuti berharap, hak-hak tumbuh kembang anak pada keduanya dapat dipenuhi tanpa perlakukan yang diskriminatif, terutama ketika mereka nanti tak lagi berada di rumah sakit.
Selama menjalani masa transisi, lanjutnya, FR dan FS akan dititipkan di suatu tempat. “Kami berharap dukungan dari masyarakat dan media agar ke depan, mereka tumbuh kembangnya normal, bisa bergaul dengan lingkunganya, tanpa perlakukan yang diskriminatif, apalagi menjadi obyek yang diperlakukan secara berbeda,” pintanya.
Hal senada juga disampaikan Rusdi Andid dari RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh, yang berpendapat bahwa tumbuh kembang dan lingkungan sosial menjadi masalah besar selanjutnya yang kemungkinan besar akan dihadapi keduanya.
FR dan FS masih Butuh Uluran Tangan
Dari sisi biaya, untuk penanganan medis FR dan FS yang membutuhkan waktu lama, memang tidak sedikit. Khusus di RSUP Dr Sardjito saja sebagaimana dilaporkan bagian keuangan, Vika, hingga saat ini telah menghabiskan hampir Rp 434 juta untuk biaya operasional, dan Rp 1.9 Milyar untuk non operasional. Sementara, sumbangan yang terkumpul dari berbagai donatur ada kurang lebih Rp 550 juta, sehingga masih defisit Rp 1.8 Milyar.
Namun, Direktur Utama RSUP Dr. Sardjito, Darwito menyatakan, sebagai rumah sakit milik pemerintah, maka kekurangan biaya tersebut menjadi tanggungan Negara.
Meski begitu, FR dan FS masih membutuhkan uluran tangan masyarakat, baik dukungan materi maupun non materi. Mengingat, pada saatnya nanti, keduanya akan hidup berbaur di masyarakat setelah proses penanganan medisnya dirasa cukup. (sutriyati)