APTFI Sebut Indonesia Kekurangan Tenaga Apoteker

Ekspos Riset dan Peluncuran Policy Brief tentang keapotekeran di FH UII, pada 15 Mei 2025. (dok. kabarkota.com)

SLEMAN (kabarkota.com) – Ketua Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI), Yandi Syukri menyebut, Indonesia kekurangan tenaga apoteker hingga enam tahun mendatang.

Bacaan Lainnya

Hal tersebut sebagaimana disampaikan Yandi dalam Ekspos Riset dan Peluncuran Policy Brief tentang keapotekeran yang digelar oleh Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII), pada 15 Mei 2025.

Yandi memaparkan, berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, rasio kebutuhan apoteker dengan jumlah penduduk Indonesia tahun 2023 itu 0,91/1.000 penduduk. Kemudian tahun 2024 agak dikurangi menjadi 0,62/1.000 penduduk, karena kebutuhannya belum terpenuhi.

“Jadi dengan data 0,62/1.000 penduduk, kekurangan apoteker itu mencapai 124 ribu,” jelas Yandi di Fakultas Hukum (FH) UII Yogyakarta.

Namun menurutnya, kekurangan itu terjadi di daerah-daerah tertentu saja. Artinya, sebaran tenaga apoteker yang ada tidak merata.

Lebih lanjut Yandi mengatakan, selama ini tenaga apoteker disuplai oleh Perguruan Tinggi. Saat ini, jumah Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan profesi apoteker baru 91 dari total 275 Pendidikan Tinggi Farmasi di Indonesia. Bahkan, Dari 91 Perguruan Tinggi itu, baru 65 yang sudah menghasilkan lulusan apoteker.

Padahal, Yandi menganggap, peran apoteker sangat penting di dunia kesehatan.

“Karena perannya tidak main-main, tentunya regulasi harus in-line,” tegasnya. Salah satunya, kualitas SDM apoteker harus ditingkatkan sehingga masyarakat bisa mendapatkan pelayanan yang bagus.

Oleh karenanya, APTFI sedang menyiapkan naskah akademik terkait arah pendidikan farmasi ke depan. Mengingat, saat ini, pendidikan farmasi masih ada di ranah sains, bukan kesehatan.

Ketua Jurusan Farmasi UII ini menambahkan, jika mengacu pada perkembangan pendidikan kefarmasian di dunia, maka idealnya, pendidikan farmasi di Indonesia ke depan seharusnya terbagi dalam dua Program Studi (Prodi). Yakni Prodi Farmasi, dan Sains Kefarmasian.

“Farmasi ini yang nantinya akan menjadi apoteker dan apoteker spesialis,” sambungnya. Sedangkan sains kefarmasian akan menghasilkan ilmuwan, misalnya membuat temuan-temuan obat.

Pihaknya juga berharap kepada kolegium farmasi sagar membuat ranah dan standar kompetensi yang menjadi acuan untuk mengembangkan arah pendidikan farmasi di Indonesia.

Selain itu, APTFI juga mendorong agar pemerintah memikirkan tentang digitalisasi layanan kefarmasian untuk pemerataan akses di semua daerah, terutama di luar Jawa yang saat ini aksesnya masih terbatas.

Redefinisi Apoteker Diperlukan

Senada dengan itu, Ketua Presidium Nasional Farmasis Indonesia Bersatu, Ismail Salim Mattula juga memaparkan bahwa di Indonesia, apoteker masih diposisikan sebagai Sarjana Farmasi yang lulus sebagai apoteker dan mengucapkan sumpah jabatan apoteker.

Menurutnya, itu tidak menggambarkan perspektif global tentang kefarmasian sekarang. Sayangnya, definisi tersebut masih digunakan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Padahal definisi ini merujuk pada UU No.6/1963 tentang Tenaga Kesehatan yang notabene disebut sebagai transformasi kesehatan nasional.

“Konteks pendidikan dan jabatan itu masih bisa dimaklumi, jika kita berada di peradaban tahun 1960-an. Tapi sekarang kita tahun 2025,” sesalnya.

Salim berpandangan bahwa definisi yang digunakan sekarang juga sangat terbatas dan sifatnya hanya administratif, serta tidak mencerminkan kompleksitas fungsi operasional apoteker.

Ketidakjelasan dan kelemahan definisi apoteker ini, kata Salim, salah satunya menyebabkan regulasi bias dan ambigu karena tidak membedakan antara tenaga vokasi dan tenaga profesi.

“Apoteker bukan dianggap sebagai tenaga strategis nasional,” tuturnya.

Oleh karena itu, pihaknya berupaya mendorong pemerintah untuk melakukan redefinisi profesi dalam rangka transformasi kesehatan Indonesia, sebagaimana tujuan UU No. 17/2023. Upaya konkret yang dilakukan adalah dengan mengusulkan definisi baru ke Presiden RI, Prabowo Subianto, pada 5 Mei 2025 lalu.

Kesenjangan Akses Apoteker di Perkotaan dan Rural jadi Tantangan

Sementara Azis Saifudin dari Kolegium Farmasi mengidentifikasi tantangan utama dalam penyediaan layanan farmasi.

Pihaknya membenarkan bahwa distribusi apoteker saat ini tidak merata, karena hanya terkonsentrasi di perkotaan. Hal itu menyebabkan terjadinya kesenjangan akses di daerah terpencil.

Keterbatasan tenaga farmasi akibat kekurangan apoteker di dearah rulah juga menghambat layanan farmasi yang optimal.

Berpijak dari itu, Kolegium Farmasi merekomendasikan peningkatan distribusi apotek di daerah terpencil, melalui stimulus dan insentif. Para pemangku kepentingan juga perlu merealisasikan stimulus dan akselerasi untuk peningkatan standar profesi, kompetensi, serta pendidikan.

PSHK FH UII Dorong DPR RI Awasi Pemerintah terkait Aksesibilitas masyarakat terhadap Layanan Apoteker

Pada kesempatan ini, PSHK FH UII juga menyatakan sikap terkait aksesibilitas layanan keapotekeran di masyarakat dan kedudukan strategis apoteker dalam sistem kesehatan nasional.

Dosen sekaligus Peneliti PSHK UII, Retno Widiastuti menyampaikan, satu dari empat rekomendasi yang disampaikan yakni, meminta Komisi IX DPR RI agar melakukan pengawasan dan mendorong Pemerintah agar mempermudah aksesibilitas masyarakat terhadap layanan profesional keapotekeran dan meneguhkan kedudukan strategis profesional apoteker dalam sistem kesehatan nasional. (Rep-01)

Pos terkait