Ilustrasi (tataruangpertanahan.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Adanya Surat Instruksi Kepala Daerah DIY No. K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah bagi seorang Warga Negara Indonesia (WNI) Nonpribumi dianggap oleh sebagian warga Tionghoa di Yogyakarta sebagai bentuk diskriminasi sehingga Siput, salah satu dari warga keturunan Cina, baru-baru ini melayangkan somasi kepada Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.
Tak hanya itu, Ketua Gerakan Anak Negeri Anti Diskriminasi (Granad) DIY, Willie Sebastian yang tak lain adalah rekan Siput menegaskan bahwa jika somasi yang dilayangkan hampir satu bulan tersebut tak mendapatkan respon dari gubernur maupun wakil gubernur, maka pihaknya akan membawa masalah itu ke pengadilan internasional.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Kongres Advokat Indonesia (DPD KAI) DIY, Layung Purnomo menganggap, somasi yang ditujukan kepada gubernur dan wakil gubernur adalah hak tiap-tiap warga negara, sehingga wajib diterima meskipun tidak selalu harus dikabulkan.
“Gubernur tidak perlu takut,” kata Layung kepada kabarkota.com, Kamis (6/10/2016) malam.
Menurutnya, somasi itu berarti ada seseorang yang mengingatkan orang atau pihak lain sebagai bentuk protes karena haknya telah dilanggar. “Akan mendapatkan kepastian hukum jika dilanjutkan melalui gugatan perdata ataupun PTUN, biar diuji oleh pengadilan, apakah komplain itu berdasar atau tidak,” jelasnya.
Sementara terkait dengan wacana warga Tionghoa yang akan membawa kasus tersebut ke pengadilan internasional, jika nantinya tak selesai di dalam negeri, Layung berpendapat, hal tersebut terlalu jauh dan justru menjadi tidak fokus dengan perjuangan awal yang menginginkan pencabutan surat instruksi wakil gubernur tahun 1975 itu.
Dihubungi terpisah, pengamat Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII), Anang Zubaidy menganggap, kekalahan gugatan pembatalan Surat Instruksi wakil gubernur di pengadilan sebenarnya telah menutup upaya hukum bagi penggugat.
“Kalau secara hukum sudah kalah, maka tidak ada jalan lain. Harus diterima. Benar atau salah menurut kita, putusan pengadilan harus dihormati dan dilaksanakan,” tegas Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) UII ini..
Sebelum somasi ke gubernur dan wakil gubernur DIY dilayangkan, pada bulan Januari 2015 lalu, seorang warga Tionghoa lainnya, Handoko yang juga berprofesi sebagai advokat bersama siput dan aktifis Granad, sempat mendaftarkan gugatan perkara terkait pencabutan Surat Instruksi Wakil Gubernur DIY tersebut, ke Mahkamah Agung (MA). Namun, gugatan ditolak dengan dalih, surat instruksi itu bukan produk undang-undang, sehingga MA tidak bisa mengadili.
Kemudian pada bulan Maret 2016, mereka kembali mendaftarkan gugatan. Kali ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta. Sayangnya, PTUN juga tidak menerima gugatan itu karena Surat Instruksi itu tidak termasuk diskresi, dan lagi-lagi PTUN tidak bisa mengadilinya. (Rep-03/Ed-03)