Ilustrasi (dok. pixabay)
SLEMAN (kabarkota.com) – Puluhan warga Nahdlatul Ulama (NU) Alumni UGM secara tegas menolak kebijakan pemerintah memberikan izin kepada Organisasi Masyarakat (Ormas) keagamaan untuk mengelola pertambangan, seperti ekstraksi batubara.
Penolakan tersebut disampaikan dalam pernyataan sikap Warga NU Alumni UGM yang disampaikan melalui konferensi pers secara daring, pada 9 Juni 2024.
Juru bicara warga NU Alumni UGM, Slamet Thohari menganggap, pemberian izin pengelilaan pertambangan kepada Ormas khususnya Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) justru akan merusak organisasi keagamaan yang seharusnya menjaga marwah sebagai institusi yang bermoral.
Oleh karena itu, Pihaknya meminta pemerintah membatalkan pemberian izin tambang pada Ormas keagamaan karena berpotensi hanya menguntungkan segelintir elit ormas, menghilangkan tradisi kritis ormas hingga pada akhirnya melemahkan Ormas itu sendiri sebagai bagian dari kekuatan masyarakat sipil yang seharusnya bisa mengontrol dan mengawasi pemerintah, atas ongkos yang sebagian besar akan ditanggung oleh Nahdliyin (rakyat).
“Kami juga mendesak PBNU untuk menolak kebijakan pengelolaan tambang untuk Ormas keagamaan, dan membatalkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah diajukan karena akan menjerumuskan NU pada kubangan dosa sosial dan ekologis,” tegasnya.
PBNU perlu menyadari bahwadampak kerusakan akibat tambang paling banyak dirasakan oleh petani, peladang, dan nelayan yang mayoritas warga Nahdliyin, kelompok yang seharusnya menjadi tempat bagi pengurus NU untuk berpihak.
Slamet menjelaskan, kegaduhan ini terjadi setelah terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Pasal 83A menyebutkan bahwa pemberlakukan penawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh Ormas keagamaan. Namun pasal di PP tersebut bertentangan dengan Pasal 75 Ayat (2) dan (3) UU Minerba dimana prioritas pemberian IUPK diberikan kepada Badan Usaha Milik Nasional (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Kemudian pada Pasal 195B Ayat (2) yang mencantumkan bahwa pemerintah dapat memberikan perpanjangan bagi IUPK Operasi Produksi sebagai kelanjutan operasi Kontrak/Perjanjian selama ketersediaan cadangan dan dilakukan evaluasi setiap 10 tahun.
“Dalih bahwa menerima konsesi tambang adalah kebutuhan finansial untuk menghidupi roda organisasi harus ditepis, sebabitu justru menunjukkan ketidakmampuan pengurus dalam mengelola potensi NU,” ucapnya.
Slamet meminta agar PBNU kembali berkhidmah untuk umat dengan tidak menerima konsesi tambang yang berpontensi membuat NU terkooptasi menjadi bagian dari alat pemerintah untuk mengontrol masyarakat. Sekaligus, terus mendorong penggunaan energi terbarukan.
Lebih lanjut pihaknya berharap, PBNU bisa menata organisasi secara lebih baik dan profesional, dengan mendayagunakan potensi yang ada guna mewujudkan kemandirian ekonomi tanpa harus masuk dalam bisnis kotor tambang yang justru menjadi warisan kesesatan historis.
Pemerintah, lanjut Slamet, harus konsisten dengan agenda transisi energi Net Zero Energy 2060 yang salah satunya diwujudkan dengan meninggalkan batubara, baik sebagai komoditas ekspor maupun sumber energi primer. Selain itu juga menciptakan enabling environment bagi tumbuhnya energi terbarukan melalui regulasi.
Menurutnya, pemerintah harus mengawal kebijakan, mengawasi, dan melakukan penegakan hukum lingkungan atas terjadinya kehancuran tatanan sosial dan ekologi, seperti perampasan lahan, penggusuran, deforestasi, eksploitasi, korupsi, dan polusi, akibat aktivitas pertambangan batubara.
“Kami menyerukan agar seluruh elemen masyarakat berkonsolidasi dan terus berupaya membatalkan peraturan yang rawan menyebabkan kebangkrutan sosial dan ekologi,” sambungnya.
Sebagaimana diketahui bahwa batubara adalah sumber energi kotor yang berkontribusi besar terhadap pemanasan global dan perubahan iklim, menyebabkan banyak bencana di Indonesia. Ekstraksi batubara di Indonesia, yang pada dasarnya hanya menyumbang sekitar 3 persen dari cadangan dunia justru memperburuk kualitas sosial dan ekologi, melalui perampasan tanah, penggusuran, deforestasi, polusi, dan lubang pasca tambang yang ditinggalkan.
Perubahan sosial dan ekologi di sekitar situs ekstraksi batubara yang melibatkan pemerintah, elit politik dan ekonomi, masyarakat adat, warga setempat, serta penduduk lokal berpontesi besar menghancurkan kantong resapan air, serta peningkatan risiko banjir dan tanah longsor. Deforestasi akibat aktivitas pertambangan juga telah mengurangi sumber oksigen dan menambah emisi karbon, memperburuk pemanasan global. Emisi dari batubara pun berbahaya bagi kesehatan pernapasan. Ditambah lagi dengan banyaknya lubang pasca tambang yang tidak direklamasi yang telah merenggut banyak korban, seperti di Pulau Kalimantan dan Sumatera.
Bahkan selama ini, ekstraksi batubara di Indonesia berkelindan dengan korupsi. Dalam dua puluh tahun terakhir, misalnya, banyak pejabat publik terjerat kasus korupsi terkait tambang batubara. Studi As’ad dan Aspinall (2015) menemukan bahwa bos tambang batubara mendanai kandidat Pemilu lokal di Kalimantan Selatan, memperoleh pengaruh istimewa dalam pemerintahan, terutama dalam membuat keputusan soal izin dan alokasi konsesi tambang. Inisiatif memperbaiki ekstraksi alam atau Bumi sering gagal secara teknik-manajerial karena suap oleh para penambang kepada pejabat pemerintah sehingga mempersulit penegakan peraturan secara lebih substantif.
Sementara itu, NU telah mengeluarkan sejumlah keputusan terkait tambang dan energi. Pada Muktamar NU ke-33 di Jombang Tahun 2015, Ormas Keagamaan ini menyerukan moratorium semua izin tambang. Bahtsul Masail yang diselenggarakan LAKPESDAM-PBNU dan LBM-PBNU pada tahun 2017 juga menghasilkan dorongan terhadap pemerintah untuk memprioritaskan energi terbarukan yang ramah lingkungan dan mengurangi penggunaan energi fosil untuk mencegah kerusakan lingkungan. Kemudian, Muktamar NU ke-34 di Lampung pada Tahun 2021 yang merekomendasikan agar pemerintah menghentikan pembangunan PLTU batubara yang baru mulai pada tahun 2022, dan penghentian produksi mulai tahun 2022, serta early retirement/phase-out PLTU batubara pada 2040 untuk mempercepat transisi ke energi yang berkeadilan, demokratis, bersih, dan murah. (Ed-01)