Bincang-bincang tentang pencegahan DBD, di UGM, Kamis (7/2/2019). (dok. ugm)
SLEMAN (kabarkota.com) – Di awal tahun 2019 ini, kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Yogyakakarta meningkat jika dibandingkan pada periode yang sama, di tahun 2018. Jika pada bulan Januari 2018 hanya tujuh kasus, maka di bulan Januari 2019 tercatat 35 kasus DBD. Namun tak ada laporan korban meninggal akibat gigitan nyamuk Ae. Aegypti tersebut.
Sedangkan berdasarkan data Dinas Kesehatan Yogyakarta, puncak kasus DBD terjadi pada 2016 dengan jumlah 1.705 kasus, dan 13 kematian. Berikutnya terjadi penurunan di tahun 2017 dan 2018 masing-masing 414 kasus dengan dua kematian dan 113 kasus dengan dua kematian.
Oleh karenanya, World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta melakukan studi Aplikasi Wolbachia dalam Eleminasi Dengue (AWED) sebagai upaya peningkatan kewaspadaan, pencegahan, dan penanggulangan DBD. Penelitian WMP Yogyakarta ini dilaksanakan oleh Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM.
Peneliti Utama World Mosquito Program (WMP), Adi Utarini menjelaskan, studi AWED telah dijalankan sejak 2016 dengan melepaskan nyamuk ber-Wolbachia di sejumlah kecamatan di Kota Yogyakarta, dan penyebaran telah selesai dilakukan pada 2017. Hal itu dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan teknologi Wolbachia dalam mencegah penularan DBD di Kota yogyakarta.
“Dari hasil pemantauan yang dilakukan diketahui saat ini lebih dari 90 % nyamuk Ae. Aegypti di Kota Yogyakarta sudah ber-Wolbachia,” ungkap Utarini, melalui siaran pers Humas UGM, Kamis (7/2/2019).
Selanjutnya, WMP Yogyakarta bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta melakukan perekrutan pasien demam yang berobat di 18 puskesmas dan puskesmas pembantu di Kota Yogyakarta, serta satu puskesmas di Kabupaten Bantul.
Menurutnya, studi dibagi menjadi dua wilayah, yakni wilayah dengan intervensi nyamuk ber-Wolbachia, dan wilayah yang tidak diintervensi nayamuk ber-Wolbachia. Dengan pembagian wilayah ini akan diperoleh perbandingan kasus DBD di wilayah pelepasan Wolbachia.
Setiap pasien demam yang datang ke puskesmas akan ditanya kesediaannya mengikuti studi ini. Sejak penelitian dimulai pada 2018 lalu hingga akhir Januari 2019 ini sudah ada 3.400 pasien yang berpartisipasi menjadi responden penelitian.
“Hasil studi baru bisa diketahui pada tahun 2020 mendatang, tetapi setiap perkembangan yang ada akan selalu kita sampaikan ke dinas kesehatan,” paparnya.
Meningat besarnya ancaman DBD, Adi Utarini menghimbau masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan jika mengalami demam untuk segera mendatangi fasilitas kesehatan terdekat.
“Umumnya fatalitas terjadi karena kurang waspada sehingga terlambat dibawa ke fasilitas kesehatan. Saat ini puskesmas di Kota Yogyakarta telah ada perangkat tes untuk diagnosis dini DBD,” jelasnya.
Sementara peneliti EDP lainnya, Riris Andono Ahmad menambahkan, dari pemantauan WMP Yogyakarta terhadap nyamuk di Kota Yogyakarta diketahui di awal musim penghujan ini terjadi peningkatan yang sangat nyata dari populasi Ae. Aegypti. Populasi jauh lebih tinggi di bulan yang sama di 2017 dan 2018. Namun hampir sama dengan data di 2016 saat terjadi puncak kasus DBD.
“Saat tahun basah banyak curah hujan sehingga ada peningkatan populasi nyamuk dan hall ini berkorelasi dengan transmisi penyakin yang akan meningkatkan kasus DBD,” ucapnya.
Pada kesempatan tersebut, Wakil Wali Kota Yogyakarta, Heroe Poerwadi juga mengatakan, Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta terus menggalakan program pencegahan penyebaran DBD, bersama UGM. Salah satunya dengan melepaskan nyamuk ber-Wolbachia di sejumlah kecamatan Kota Yogyakarta. Selain itu juga mengeluarkan himbauan untuk terus menggalakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN).
Langkah lain dengan menggalakan Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik dan Sambang Kampung, dan aktivitas pemberantasan sarang nyamuk dengan melibatkan berbagai pihak lintas sektoral. (Ed-03)