YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menilai, keberadaan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, memberikan perlindungan ideal bagi wartawan, namun tidak secara operasional. Hal tersebut disampaikan Ketua AJI Indonesia, Eko Maryadi, kepada kabarkota.com, di sela-sela Workshop Advokasi Kebebasan Pers di Jalan Sisingamangaraja Yogyakarta, Minggu (27/4).
“Undang-Undang Pers belum menjadi undang-undang yang lengkap karena masih bolong-bolong sehingga sulit diterapkan,” anggap Eko.
Misalnya, pada pasal 18 ayat 2 yang memberi perlindungan bagi wartawan, sifatnya masih sangat umum. “Misalnya melindungi wartawan yang seperti apa?" tambah dia. Selama ini, tidak ada aturan teknis yang menyertai UU ini.
Undang-undang tersebut tidak mencantumkan secara jelas tentang pasal penculikan, penganiayaan, pengeroyokan, maupun pembunuhan terhadap wartawan. Aturan seperti itu sangat berbeda dengan KUHP yang menyebut secara detail pasal-pasalnya.
“Undang-Undang Pokok Pers memberikan jaminan kebebasan pers, tetapi tidak secara otomatis menjamin keselamatan kepada wartawan,” tegas Eko lagi.
AJI telah menginisiasi adanya revisi atas undang-undang tersebut sejak 2005. Hanya saja, ia mengakui, banyak pertentangan yang muncul atas usulan tersebut, termasuk dari internal pers sendiri.
“Mereka berdalih, sulit menemukan undang-undang yang bagus seperti undang-undang ini,” paparnya.
Strategi yang ditempuh AJI untuk meminimalisasi terjadinya kekerasan terhadap jurnalis, secara sukarela membangun advokasi dan sistem perlindungan profesi, serta edukasi bagi para awak media.
Seperti diberitakan kabarkota.com sebelumnya, berdasarkan catatan AJI Indonesia, sejak 1996 hingga sekarang, sedikitnya telah ada delapan kasus pembunuhan misterius terhadap jurnalis di tanah air. Salah satunya terhadap Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin dari Yogyakarta yang hingga kini kasusnya belum tuntas.
Pada tahun 2013, ada hampir 40 kasus kekerasan terhadap wartawan yang belum diselesaikan pihak aparat penegak hukum.
Ketua AJI Yogyakarta, Hendrawan menganggap, maraknya kasus kekerasan terhadap jurnalis juga berpangkal dari ketidaktaatan terhadap kode etik jurnalistik. Selain itu, pemahaman tentang safety journalism di kalangan media masih minim.
Perusahaan pers sendiri, kata Hendrawan, cenderung tidak memberikan pelatihan yang cukup bagi wartawannya. Bahkan ada sebagian yang terkesan menghalang-halangi jurnalis mengikuti pelatihan-pelatihan di luar. (tya/tri)