Dituduh Penyalur dana Kelompok Santoso, Herbalis asal Klaten Diciduk Densus 88

Ilustrasi (dok. kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Keberanian keluarga Siyono, warga Klaten, Jawa Tengah yang diduga meninggal di tangan personel Densus 88 Antiteror mendorong warga Klaten lainnya untuk turut mengungkap kasus korban penangkapan serupa yang menimpa anggota keluarganya.

Bacaan Lainnya

Salah seorang warga Klaten Utara, Jawa Tengah, Rohmat mengaku, kakak kandungnya yang bernama Joko Mulyanto juga menjadi korban penangkapan Densus 88 Antiteror pada 19 Februari 2016 lalu. Menurutnya, Joko yang sehari-harinya berprofesi sebagai Herbalis itu dituduh menjadi penyalur dana untuk kelompok Santoso di Poso.

“Saya bantah karena aktifitas kakak saya (Joko) tidak mengarah ke sana. Aktifitas di dakwah tentang keislaman, iya memang cukup aktif. Tapi kalau terlibat teroris, itu tuduhan yang tidak beralasan,” kata Rohmat kepada wartawan di kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta, Kamis (29/3/2016).

Rohmat menjelaskan, awalnya Joko dimintai bantuan oleh temannya bernama Luqman yang mengaku memiliki Pondok Pesantren di Kendal Jawa Tengah. Luqman ketika itu, meminta bantuan dana kepada Joko untuk pengadaan seragam anak-anak di Pondok pesantrennya.

Setelah terkumpul uang sekitar Rp 1,5 juta, lanjut Rohmat, uang diserahkan kepada Luqman dan ternyata uang tersebut dibawa ke Poso. “Apesnya, temannya (Luqman) itu ditangkap aparat Densus 88,” ungkapnya.

Ia menduga, karena ada tekanan, maka muncul pengakuan dari Luqman bahwa uang tersebut diperoleh dari Joko Mulyanto. “Jadi, apakah uang itu akan digunakan untuk membantu Santoso Cs, kami tidak tahu,” imbuhnya.

Hanya saja, Rohmat menyesalkan langkah aparat yang melakukan penangkapan terhadap Joko tanpa penjelasan ketika itu. “Kami baru bisa menemui kakak kami di Mako Brimob Kelapa 2, Depok, 2-3 minggu setelah penangkapan,” kenangnya lagi.

Dalam pertemuan singkat tersebut, Rohmat menambahkan bahwa Joko menyatakan tak mengenal Santoso dan meminta dukungan doa dari keluarga.

Karenanya, Rohmat juga berharap proses hukum terhadap kakaknya bisa dipercepat melalui advokasi dari PP Muhammadiyah dan Komnas HAM.

Sementara Komisioner Komnas HAM, Siane Indriani menyebutkan, sejak dibentuknya Densus 88 Antiteror pada 2003 lalu hingga 2016 ini, sedikitnya telah ada 119 kasus korban penangkapan serupa yang tercatat. Dari jumlah tersebut, 90 persen korban mengalami penyiksaan.

“Harus ada mekanisme pertanggungjawaban secara hukum,” pintanya (Rep-03/Ed-03)

Pos terkait