Ilustrasi (suara.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Akhir-akhir ini, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan sekitarnya sering diguncang gempa tektonik yang meskipun magnitudenya kecil namun dirasakan oleh sebagian masyarakat sehingga menimbulkan kepanikan.
Sekitar tiga bulan terakhir saja, yakni bulan November 2016 hingga 15 Januari 2017, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) DIY telah merilis 14 kali gempa yang berpusat di sekitar Bantul dan Gunung Kidul, dengan kekuatan antara 2,5 SR – 5,3 SR dan kedalaman mulai dari 6 km hingga 23 km.
Kepala BMKG DIY, Nyoman Sukanta menilai, seringnya gempa yang terjadi di wilayah DIY tersebut justru bagus sebagai pelepasan energi akibat patahan lokal yang terjadi karena aktifitas pergerakan lempeng di sesar Opak.
“Kalau gempanya kecil-kecil itu lebih bagus karena energinya sudah lepas, daripada tidak pernah terjadi gempa, tapi sekalinya gempa langsung besar. Itu yang bahaya,” jelas Nyoman saat dihubungi kabarkota.com, Minggu (15/1/2017).
Pihaknya mencontohkan sebagaimana yang terjadi di Pidie Jaya Aceh, 6 Desember 2016 lalu, yang menimbulkan kerusakan dan korban jiwa. “Gempa yang terjadi di Aceh Pidi ketika itu adalah akibat patahan lokal yang lama tidak aktif,” ungkapnya.
Menurutnya, pergerakan lempeng di pesisir selatan Jawa itu diperkirakan sekitar 71 mili meter per tahun. “Sebenarnya kecil tapi karena skalanya besar jadi pengaruhnya lumayan,” ujar Nyoman.
Pergerakan lempeng itu, lanjutnya, dipengaruhi oleh struktur bumi, yang inti luarnya berbentuk cairan sangat panas, dengan suhu 6 ribuan derajat celcius sehingga mengakibatkan mantel dan kerak bumi terus bergerak membentuk lempeng-lempeng. Kalau yang terjadi di laut namanya lempeng samudera, sedangkan di darat disebut lempeng benua.
Jadi, aktifitas di dalam perut bumi itu yang mengakibatkan lempeng juga ikut bergerak,” kata Nyoman.
Sementara, terkait pusat gempa, ia menambahkan, sejauh ini lebih banyak terjadi di laut ketimbang di darat. (Rep-03/Ed-03)