Diskusi Kebangsaan: Meneladani Visi Keindonesiaan Sepasang Republikan: Sri Sultan HB IX dan PA VIII, di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta, 5 September 2018. (sutriyati/kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Yogyakarta mendapatkan predikat “Istimewa” dari pemerintah pusat yang diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan diperkuat dengan disahkannya UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, yang menurutnya, itu didasarkan pada Amanat 5 September 1945 dan Amanat 30 Oktober 1945.
Status istimewa tersebut menjadi pembeda sekaligus penggembira bagi masyarakat DIY. Banyak hal yang kemudian dilakukan untuk “merayakan” momen tersebut. Namun, di sisi lain, ada hal yang jarang diperbincangkan publik sepanjang sistem pemerintahan yang diterapkan di DIY.
Sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), DIY tentu tunduk pada sistem demokrasi sebagaimana yang dijalankan di tingkat pusat. Tapi, DIY juga mempunyai UU Keistimewaan yang salah satunya mengatur secara khusus tentang tata pemerintahan di sini yang berbeda dengan daerah-daerah lainnya. Kesultanan Yogyakarta juga memiliki paugeran (aturan) sendiri kaitannya dengan pemerintahan.
Pertanyaannya, apa sebenarnya sistem pemerintahan yang dijadikan acuan di DIY, dan apa pengaruhnya bagi kehidupan demokrasi, utamanya untuk desa-desa di DIY?
Pengamat Sosial dari Erasmus University Rotterdam, Beland, Ben White, yang selama ini banyak mengamati desa, termasuk di DIY mengatakan, desa-desa di Yogyakarta menjalankan sistem demokrasi. Itu terbukti dari pemilihan lurah dan seluruh perangkat desa dipilih langsung oleh warga setempat.
Ketika itu, Dewan Permusyawaratan Rakyat Kelurahan (DPRK) juga dibentuk sebagai parlemennya desa, yang walaupun amggotanya kebanyakan dari masyarakat kelas bawah tapi mampu mengawasi dan menekan kinerja kelurahan sebagai eksekutifnya desa. Partisipasi masyarakat desa di ranah politik bisa dikatakan tinggi, apalagi sejak organisasi-organisasi yang berada di bawah partai-partai politik ketika itu berdatangan ke desa untuk memberikan pembinaan dan pendampingan bagi mereka.
Hanya saja, sejak rezim Orde Baru berkuasa, sistem tersebut dirombak total. Organisasi-organisasi “perwakilan” partai politik yang sebelumnya turun ke desa dibubarkan dan diganti dengan organisasi yang terpusat, sehingga akses warga desa di bidang politik di tingkat lokal juga menjadi terputus.
“Orang kecil di desa terputus dari semua kegiatan partai-partai,” sebut Ben dalam Diskusi Kebangsaan: Meneladani Visi Keindonesiaan Sepasang Republikan: Sri Sultan HB IX dan PA VIII, di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta, 5 September 2018.
Kemudian dalan Undang-Undang Pemerintahan Desa yang disahkan tahun 1979, juga tidak ada pemilu di tingkat desa. DPRK yang tadinya akan diterapkan di desa-desa lain seluruh Indonesia juga dibubarkan. Mesli demikian, di Yogyakarta sistem demokrasi di tingkatan lokal masih dijalankan hingga sekitar tahun 1987.
“Sekarang yang dipilih secara demokratis hanya kepala desa,” sesalnya. Sementara perangkat desa, dipilih oleh Dewan Permusyawaratan Desa, atas rekomendasi Kepala Desa, yang sebelumnya kepala desa berkonsultasi dengan camat.
Bahkan, lanjut Ben, di Undang-Undang Desa sekarang, tidak ada keharusan kepala desa berkonsultasi dengan camat terlebih dahulu, untuk memutuskan siapa yang berhak menduduki posisi perangkat desa. Musyawarah desa, yang digelar setahun sekali juga tidak memiliki peran, kecuali untuk membahas dan menyetujui perencanaan yang dibuat oleh desa.
Keberadaan UUK DIY sebenarnya memberikan hak istimewa untuk Yogyakarta, termasuk salah satunya dalam mengatur sistem pemerintahan hingga ke level terbawah. Namun, Ben mengaku tak mengetahui secara persis, hak istimewa tersebut digunakan atau tidak, karena hingga sekarang kecenderungannya masih mengacu pada aturan lama. (sutriyati)