Ketum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir (dok. muhammadiyah)
BANTUL (kabarkota.com) – Setelah reformasi, sebenarnya Indonesia mengalami radikalisasi dan terpapar radikalisme dalam kuasa ideologi, sistem liberalisasi dan kapitalisme baru yang lebih dari sekedar radikalisme agama dalam kehidupan kebangsaan.
Hal tersebut sebagaimana disampaikan Haedar Nashir dalam pidato pengukuhan dirinya sebagai Guru Besar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Kamis (12/12/2019).
Namun, Ketua Umum (Ketum) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah ini juga berpandangan bahwa ketika radikalisme dimaknai sebagai pandangan dan orientasi ektrem dan keras yang berada dalam satu pendulum yang melahirkan banyak masalah, merugikan hajat hidup rakyat, dan bertentangan dengan semangat kemerdekaan tahun 1945, maka radikalisme ideologi, politik, ekonomi, dan budaya sama bermasalahnya dengan radikalisme atau ektremisme beragama bagi masa depan Indonesia.
Karenanya menurut Haedar, diperlukan moderasi sebagai jalan alternatif dari deradikalisasi. Tujuannya, agar sejalan dengan Pancasila sebagai ideologi tengah dan karakter bangsa Indonesia yang moderat untuk menjadi rujukan strategi dalam menghadapi radikalisme di Indonesia.
Sebab menurutnya, moderasi Indonesia dan keindonesiaan sebagai pandangan dan orientasi tindakan untuk menempuh jalan tengah atau moderat merupakan keniscayaan bagi kepentingan masa depan Indonesia yang sejalan dengan landasan, jiwa, pikiran, dan cita-cita kemerdekaan sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 dan spirit para pendiri bangsa.
“Moderasi Indonesia dan keindonesiaan itu niscaya objektif dalam seluruh aspek kehidupan kebangsaan seperti politik, ekonomi, budaya, dan keagamaan,” kata Haedar.
Indonesia, lanjutnya, harus terbebas dari segala bentuk radikalisme baik dari tarikan ekstrem ke arah liberalisasi dan sekularisasi maupun ortodoksi
dalam kehidupan politik, ekonomi, budaya, dan keagamaan yang menyebabkan Pancasila dan agama-agama kehilangan titik moderatnya yang autentik di negeri ini.
Haedar menanggap, makna radikalisme di Indonesia menjadi bias ketika hanya terbatas ditujukan objeknya pada radikalisme agama, khususnya Islam sebagaimana tercermin dalam berbagai pandangan dan kebijakan deradikalisasi yang justru menimbulkan kontroversi dalam kehidupan kebangsaan.
Bias pandangan tersebut, imbuh haedar, selain bertentangan dengan objektivitas kebenaran dan posisi Pancasila sebagai tolok ukur bernegara, juga akan menjadikan Islam dan umat Islam terdakwa dalam stigma radikalisme. Sekaligus mengabaikan radikalisme lainnya yang tidak kalah berbahaya atau bermasalah bagi kepentingan bangsa dan negara.
Konstruksi tentang radikalisme yang bias dan digeneralisasi secara luas itu, menurutnya dapat menjadikan Indonesia berada dalam gawat-darurat radikalisme. Padahal sejatinya masih banyak aspek dan ruang sosiologis dalam kehidupan keindonesiaan yang moderat dan menjadi kekuatan Indonesia untuk menjadi negara maju yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
“Cara pandang yang berlebihan dengan orientasi deradikalisasi atau deradikalisme yang overdosis bahkan dapat menjurus pada suatu paradoks bahwa melawan radikal dengan cara radikal akan bermuara melahirkan radikal baru, sehingga Indonesia menjadi terpapar radikal dan radikalisme,” jelasnya.
Haedar menambahkan, semestinya dalam menghadapi radikalisme keagamaan, seperti dalam sejumlah kasus teror bom, dan serangan fisik atau dalam bentuk paham radikal itu dapat diitempuh blocking-area. Di samping langkah penegakkan hukum yang tegas agar tidak memperlebar area radikalisme ke ranah yang lebih luas di zona moderat yang sebenarnya aman dan damai.
Rumah dan lingkungan sosiologis Indonesia, papar Haedar, semestinya bisa menumbuhkan energi positif bagi masa depan bangsa dan generasi emas Indonesia. Sebab, jika setiap hari isu radikalisme terus digulirkan, tanpa mengurangi usaha menangkal segala penyakit radikalisme, maka bumi Indonesia akan sesak-napas oleh polusi radikalisme. (Ed-01)