Ilustrasi (Waspada.co.id)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah tengah menjadi sorotan dari banyak kalangan. Pasalnya, dalam peraturan tersebut, Komite Sekolah diperbolehkan melakukan pungutan dengan prinsip gotong-royong, untuk meningkatkan mutu pelayanan pendidikan.
Sementara di sisi lain, pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah mengalokasikan dana 20 persen dari anggaran tersebut untuk dunia pendidikan, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Amelia Hapsari, wali murid salah satu Sekolah Dasar (SD) di Kalasan, Sleman mengaku khawatir, adanya pungutan itu nantinya akan memberatkan para orang tua siswa. Terlebih, kebanyakan para wali murid di SD tersebut bekerja sebagai petani dan pedagang di pasar tradisional, yang notabene penghasilannya pas-pasan.
“Kalau memang komite sekolah diperbolehkan galang dana, sebaiknya dijelaskan siapa saja sasarannya. Kalau hanya umum, wali murid bisa ikut menjadi sasaran. Padahal, rata-rata orang tua memilih sekolah negeri karena bebas biaya, dengan harapan anak bisa terus mengenyam pendidikan,” kata Amelia kepada kabarkota.com, Kamis (19/1/2017).
Sementara, pengamat pendidikan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Khamim Zarkasih Putro berpendapat bahwa terbitnya Permendikbud itu tidak lepas dari belum tercukupinya kebutuhan pendidikan, dengan anggaran 20 persen yang telah digelontorkan pemerintah selama ini.
“Seharusnya 20 persen itu tidak termasuk gaji guru. Tapi dalam praktiknya, gaji guru masuk dalam 20 persen itu. Itu artinya biaya tidak sampai 20 persen dari APBN,” kata Khamim saat dihibungi kabarkota.com, Rabu (18/1/2017) malam.
Menurutnya, angka 20 persen merupakan batas minimal yang diundangkan, sedangkan kebutuhab ideal yang semestinya dipenuhi pemerintah sekitar 25 persen. Itu pun, untuk peningkatan kesejahteraan guru semestinya tidak diambilkan dari alokasi tersebut. Mengingat, pengembangan segenap potensi peserta didik membutuhkan pos anggaran terbesar.
Terkait dengan revitalisasi Komite Sekolah, Khamim menilai, sebenarnya aturan tersebut selaras dengan UU Sisdiknas yang salah satu poinnya menyebutkan bahwa biaya penyelenggaraan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara sekolah, orangtua dan masyarakat.
“Hanya karena Pemerintah merasa biaya yang digelontorkan untuk sekolah, khususnya sekolah negeri telah dirasa cukup, maka sekolah tidak boleh menarik pungutan dalam bentuk apapun. Namun dalan praktiknya, anggaran yang diterima dari negara belumlah mencukupi untuk membiayai pendidikan di sekolah, maka diperlukan juga bantuan dalam bentuk lain, yakni diistilahkan sebagai pungutan oleh Komite Sekolah,” anggapnya
Karenanya, Khamim menambahkan, akuntabilitas dan transparansi menjadi hal penting yang harus benar-benar dijaga. Salah satunya, dengan membuat Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) yang jelas dan terukur. (Rep-03/Ed-03)