Ilustrasi (waspada.co.id)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhajir Effendy yang membolehkan Komite Sekolah melakukan penggalangan dana pendidikan dengan prinsip gotong royong, trlah dituangkan dalam Peraturan Mendikbud No 75 Tahun 2016. Namun, aturan baru tersebut masih menjadi tanda tanya bagi banyak pihak, termasuk dari Komite Sekolah sendiri.
Sekretaris Komite Sekolah di Sekolah Dasar (SD) Muhammadiyah Sidoarum, Godean, Sleman, Ranni Melri Safitri mengatakan, pada dasarnya, terbitnya Permendikbud No 75 Tahun 2016 itu cukup positif, terutama bagi sekolah-sekolah swasta yang belum “established”
“Kalau memang menggalang dana ok saja kalau memang diperlukan dan bukan pemaksaan atau kewajiban,” ucap Ranni kepada kabarkota.com, Jumat (20/1/2017).
Mengingat, lanjut Ranni, pada kenyataannya, dana pendidikan yang digelontorkan pemerintah, terutama untuk sekolah-sekolah swasta tak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sekolah.
Hanya saja, pihaknya juga mengaku khawatir, jika tidak ada pengawasan yang baik, serta adanya ‘kongkalikong’ antaroknum komite, pungutan itu justru akan menjadi ‘lahan basah’. Terlebih bagi sekolah-sekolah yang sistem keuangannya tidak baik.
Anggota Komite Sekolah di salah satu sekolah negeri kota Yogyakarta, Baharuddin Kamba juga mengungkapkan pendapatnya, yang menyatakan bahwa ada atau tidaknya Permendikbud tersebut, selama ini para wali murid juga tetap memberikan sumbangan melalui komite sekolah.
“Kami tetap saja mengeluarkan uang untuk kegiatan ekstra kurikuler, untuk kelas 1 sebesar Rp 40 ribu, kalau kelas 5 sebanyak Rp 50 ribu,” ungkapnya.
Pihaknya berharap, agar Dinas Pendidikan baik kabupaten/kota maupun Provinsi segera melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah terkait adanya Permendikbud tersebut. Selain itu juga perlunya pengawasan yang ketat, transparansi dalam penggunaan dana, serta adanya batasan pungutan dana yang jelas. Sebab, Bahar menambahkan, bukan tidak mungkin, Permendikbud ini justru membuka peluang terjadinya penyelewengan.
Sementara aktifis Saranglidi, LSM yang konsens terhadap Pendidikan di Yogyakarta, Yuliani menilai, Permendikbud tentang Komite Sekolah itu bertentangan dengan UU Sisdiknas dan PP No 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan yang semestinya menjadi tanggung jawab pemerintah.
“Sekarang ini masyarakat jangan dianggap tidak berkontribusi ataupun tidak bergotong-royong, karena mereka juga membayar SPP untuk SMA-SMK, buku, seragam, dan biaya-biaya tambahan lainnya, seperti bayar les. Jadi sebenarnya yang ingkar itu adalah pemerintah,” tegas Yuli kepada kabarkota.com, Kamis (19/1/2016).
Menyangkut pungutan oleh Komite Sekolah, secara tegas Yuli juga menolak. Mengingat, selama ini pemerintah belu menghitung ulang berapa sebenarnya cost per unit yang dibutuhkan.
“Seharusnya dihitung cost per unitnya berapa, jadi tinggal apa yang dimaksud gotong royong masyarakat itu jelas, berapa yang harus mereka tanggung selama anak sekolah di situ,” pintanya.
Dengan perhitungan yang jelas itu, lanjut Yuli, juga akan memperkecil peluang terjadinya korupsi di dunia pendidikan, akibat pelegalan pungutan dana melalui Permendikbud No 75 Tahun 2016 itu. (Rep-03/Ed-03)