Ilustrasi (sutriyati/kabarkota.com)
(kabarkota.com) – Kondisi krisis kapitalisme seperti sekarang sudah akut dan banyak berpengaruh buruk terhadap sendi-sendi ekonomi. Banyak masalah yang dialami kaum buruh karena kebijakan negara yang berkompromi dengan kaum modal hari ini.
Itu karena rezim Jokowi-JK adalah rezim yang pro terhadap kaum modal sehingga cenderung membela kepentingan kaum modal, walaupun saat krisis ekonomi melanda. Berbagai cara dilakukan oleh rezim hari ini untuk menyelamatkan dan menambal sulam krisis.
Kebijakan yang dilakukan rezim hari ini pun masih menggunakan logika kapitalisme. Dari paket kebijakan ekonomi I sampai III yang prinsipnya untuk mempermudah investasi masuk dan berkembang di Indonesia. Sampai kemudian paket kebijakan IV yang mengesahkan kebijakan tentang pengupahan.
Adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang oleh pemerintah dianggap sebagai jawaban untuk menyelamatkan krisis kapitalisme. PP Pengupahan juga menjadi cara rezim untuk membatasi gerakan buruh dalam menuntut upah. Karena di dalam logika kapitalisme, upah buruh itu dijadikan beban produksi (biaya produksi) sehingga sebisa mungkin ditekan sampai seminimal mungkin.
Namun, gerakan buruh merespon ini dengan cepat. Walaupun tidak semua serikat buruh menolak PP tersebut, tetapi sebagian besar serikat buruh menolaknya. Terbesar adalah penolakan yang dilakukan oleh Komite Aksi Upah Gerakan Buruh Indonesia (KAU-GBI), yang didalamnya termasuk konfederasi besar buruhnya. Dengan adanya PP Pengupahan ini juga diharapkan bisa mempertajam kontradiksi kelas sehingga tercipta perlawanan dari kelas buruh yang lebih besar dan massif.
Terciptalah mogok nasional pada tanggal 24-27 November 2015. Sebelumnya juga mereka telah melakukan aksi-aksi pemanasan menjelang mogok nasional. Meskipun ketika mogok nasional terjadi, terlihat gerakan buruh belum siap untuk menyukseskan mogok nasional. Namun, di sejumlah kawasan industri, seperti Jabodetabek, Karawang, Purwakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Batam, dan Sulawesi telah melakukan aksi guna merespon PP Pengupahan yang dianggap merugikan buruh ini.
Walaupun tidak semua mogok nasional berjalan dengan total dan kompak. Selama 4 hari kaum buruh melakukan aksi merespon PP Pengupahan. Agitasi dan Propaganda pun dilancarkan untuk menyadarkan massa kaum buruh. Tidak hanya sebatas perspektif ekonomis, tetapi juga soal perspektif politik kelas buruh. Seperti yang dilakukan oleh serikat buruh yang progresif.
Oleh karenanya, dalam pandangan penulis, buruh itu bisa kuat dan besar jika disokong oleh tiga syarat, sebagaimana dikutip dari literatur lama zaman ISDV. Pertama, adanya organisasi serikat buruh yang kuat. Kedua adanya parta politik kelas buruh yang kuat, serta ketiga adalah adanya ekonomi berjuang yang mandiri.
Adanya organisasi serikat buruh yang kuat. Kita tahu bahwa ada jutaan kaum buruh Indonesia yang belum berserikat, terutama mereka yang berada di luar kawasan industri. Padahal buruh itu mau dimanapun dia berada dan pekerjaannya seperti apa, persoalannya akan selalu sama. Inilah yang menjadi potensi untuk pengorganisiran kelas buruh di dalam serikatnya.
Hadirnya partai politik kelas buruh yang kuat. Penulis menganggap bahwa situasi sekarang adalah momentum bangkitnya kaum buruh dalam membuat bangunan partai politik di kelasnya. Karena kita tahu bahwa perjuangan ekonomi itu terbatas dan tidak menyelesaikan akar persoalan dari kapitalisme, dan tidak mungkin menghancurkan kapitalisme itu sendiri, jika hanya berkutat pada perjuangan ekonomis.
Dengan wacana dan rencana setelah Mayday 2015, misalnya, konfederasi besar buruh ingin membentuk partai buruh. Segala situasi dan konsekuensi logisnya harus dibaca dengan cermat. Bagaimana konfederasi buruh kuning ini adalah barisan sakit hati pada saat pemilu, dan belum menunjukkan kesadaran ideologisnya secara benar. Apalagi, masih banyak pimpinan organisasi ataupun organisasinya yang elitis, pragmatis, dan oportunis.
Dan situasi di Indonesia gerakan buruhnya secara umumnya masih berspektif ekonomis, sehingga tugas yang harus dilakukan adalah bagaimana memajukan kesadaran ekonomis ini menjadi kesadaran politik. Ini tentunya membutuhkan kerja keras, dan kesabaran revolusioner. Terlebih, belum ada sejarahnya setelah reformasi ini terbangun kekuatan politik kelas buruhnya dalam bentuk partai buruh yang bisa menghimpun jutaan massa buruh.
Selain itu, ekonomi berjuang yang mandiri juga diperlukan. Seringkali serikat buruh itu dalam menjalankan organisasinya terkendala oleh keuangan yang terbatas. Membangun ekonomi mandiri inilah menjadi salah satu solusi untuk mengatasi hal tersebut.
Hal ini penting dilakukan, mengingat pentingnya kemandirian kelas buruh di dalam serikat buruh itu sendiri. Ekonomi mandiri hadir untuk mempraktekkan counterisasi atas sistem ekonomi kapitalisme.
Ekonomi berjuang yang dimaksud adalah ekonomi berjuang organisasi dalam bentuk mekanisme ekonomi internal organisasi seperti iuran anggota, dan yang kedua adalah membuat usaha ekonomi mandiri. Serikat buruh yang kuat adalah serikat buruh dimana para anggotanya sudah sadar akan pentingnya membayar iuran dengan kontinyu.
Jika ketiga syarat itu terpenuhi, maka kekuatan buruh menjadi sebuah kekuatan yang maha dahsyat. Menggetarkan penguasa yang lalim dan menindas. Merobohkan dinding penghalang kesejahteraan. Dan meruntuhkan sistem kapitalisme itu sendiri. Menggantikannya dengan sistem yang beradab yaitu sistem sosialisme.
Karena sejatinya manusia terlahir sebagai manusia yang sosialis. Manusia pekerja yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan manusia yang bisa memenuhi kebutuhan alam. (ed-03)
Penulis
Restu Baskara
Koordinator Federasi Pejuang Buruh Indonesia (FPBI) Cabang Yogyakarta