Mengkaji Ulang Program Kartu Prakerja di DIY

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Program Kartu Prakerja menjadi incaran jutaan orang. Sejak diluncurkan pada 11 April 2020, masyarakat berlomba-lomba mendaftar dengan harapan bisa mendapatkan pelatihan dan insentif.

Adalah Fattin Ayu Uswatun Khasanah, gadis 19 tahun asal Sleman yang mengaku harus mencoba mendaftar berkali-kali hingga bisa lolos program Kartu Prakerja.  “Saya sudah mencoba mendaftar program Kartu Praerja ini sebanyak 15 kali, baru bisa lolos,” kata Fattin, baru-baru ini.

Bacaan Lainnya

Fattin bersemangat mengikuti program itu karena bisa mendapatkan pelatihan online bersertifikat yang harapannya bisa menjadi portofolio saat nantinya melamar pekerjaan baru. “Sampai dengan saat ini, ilmu dari pelatihan itu belum saya aplikasikan,” ucap Fattin yang memilih pelatihan Tips dan Trik Wawancara Kerja dalam Dunia Kerja.

Sementara uang insentif yang ia terima juga belum ia gunakan. “Masih saya simpan di tabungan untuk persediaan ketika ada kebutuhan mendadak dalam jumlah banyak. Termasuk untuk persiapan biaya masuk kuliah,” sambungnya.

Pengalaman sulitnya untuk bisa mendapatkan kesempatan mengikuti program Kartu Prakerja juga diakui Yeni, perempuan 23 tahun asal Sleman yang sebelumnya pernah bekerja di toko aksesoris perhiasan.

“Saaya bisa lolos program Kartu Prakerja setelah mencoba 14 kali, dan selalu gagal,” ungkap Yeni.

Ia tak putus asa, karena termotivasi ingin mendapatkan ilmu dari pembelajaran yang ia pilih sendiri, yakni Pelatihan Membuat Kopi Kekinian ala Barista, serta Cara Mudah Mengawali Bisnis Roti dan Kue dari Rumah, dengan membuat biskuit unik.

Yeni mengaku belum berencana untuk mengawali usaha baru dengan ilmu yang ia dapatkan dari pelatihan itu. “Uang insentif yang saya dapatkan, saya pakai untuk memenuhi kebutuhan selama belum mendapatkan pekerjaan,” katanya.

 

Klaim Keberhasilan Pemerintah dalam Program Kartu Prakerja

Dalam Laporan Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja Tahun 2020, Direktur Eksekutif  Manajemen Pelaksanaan Program Kartu Prakerja, Denni Puspa Purbasari mengungkapkan, Program Kartu Prakerja ini berawal pada 24 Februari 2019, saat Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan bahwa tujuan Kartu Prakerja ini untuk meningkatkan kompetensi, produktivitas, dan daya saing angkatan kerja Indonesia, sekaligus untuk mendorong kewirausahaan.

Namun, sebelum program tersebut terealisasi, pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) melanda sehingga pemerintah melakukan penyesuaian tujuan dari implementasi program Kartu Prakerja.

“Datangnya pandemi Covid-19 sebelum Prakerja ini diluncurkan telah mengubah sifat program menjadi semi bantuan sosial. Program Kartu Prakerja harus mengemban misi tambahan, menjaga daya beli mereka yang terdampak, namun belum terlindungi,” tulis Denni dalam Sekapur Sirih di laporan tersebut.

Program yang dipayungi oleh Perpres No. 36 Tahun 2020, dan diturunkan dalam bentuk Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No. 3 Tahun 2020, dan Peraturan Menteri Keuangan No. 25 Tahun 2020 ini juga dimaksudkan untuk mengurangi skill gap angkatan kerja Indonesia.

Ada 1.701 jenis pelatihan yang ditawarkan oleh 150 lembaga pelatihan, dan dijual di tujuh platform digital yang ditunjuk pemerintah. Sedangkan  total manfaat yang diterima peserta program Kartu Prakerja sebesar Rp. 3,55 juta yang diberikan secara bertahap. Bantuan tersebut terbagi atas bantuan untuk membeli pelatihan online sebesar Rp. 1 juta, insentif pasca pelatihan sebesar Rp 2.4 juta yang diberikan empat tahap, serta insentif pasca survei senilai Rp. 150 ribu untuk tiga kali survei.

Pemerintah mengklaim, pada tahun 2020, total penerima manfaat program Kartu Prakerja sebanyak 5,5 juta orang dari sekitar 43,8 juta pendaftar yang tersebar di 514 kabupaten/kota se-Indonesia. Termasuk didalamnya perempuan, penyandang disabilitas, masyarakat dari daerah tertinggal, orang dengan pendidikan terakhir SD ke bawah, lansia, hingga mantan pekerja migran Indonesia.

Survei Angkatan Kerja Nasional yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2020 menggambarkan, sebanyak 88.9 persen penerima Kartu Prakerja menyatakan keterampilan kerjanya meningkat, dan 81,2 persen menggunakan insentif tersebut untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Dengan kata lain, target peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia, dan aspek perlindungan sosial di tengah pandemi Covid-19 cukup terpenuhi melalui realisasi program tersebut.

sejarah dan realisasi program kartu prakerja

 

Implementasi Program Kartu Prakerja di DIY

Pada implementasi Program Kartu Prakerja, Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengaku kesulitan untuk menilai keberhasilan atau kegagalan program Kartu Prakerja karena semua menjadi ranah pemerintah pusat.

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) DIY, Aria Nugrahadi mengungkapkan, semua proses dan pengelolaan program tersebut ada di Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja, dan Kemenko Perekonomian. “Kami di daerah membantu program pemerintah melalui penyebarluasan informasi program Kartu Prakerja,” jelas Aria kepada kabarkota.com, pada 31 Mei 2021.

Disnakertrans DIY juga menyiapkan fasilitas alat pendukung berupa komputer, dan pendampingan untuk pendaftaran maupun akses Kartu Prakerja bagi calon peserta yang kesulitan dan membutuhkan bantuan.

Untuk mendapatkan gambaran terkait implementasi Program Kartu Prakerja di DIY, Kabarkota.com melakukan survei online pada 26 Mei – 10 Juni 2021 terhadap 97 responden yang mengikuti (66 persen) ataupun tidak mengikuti program Prakerja (34 persen), dari lima Kabupaten/kota di DIY. Sementara pemerintah juga memiliki tolok ukur dampak program Prakerja bagi penerima manfaat dari hasil “Survei Evaluasi Tahap 1-3 Tahun 2020”. Oleh karena ini, kedua data tersebut akan dibandingkan setidaknya untuk mendapatkan gambaran seberapa efektif penerapan program Kartu Prakerja, khususnya di DIY. Meskipun data dari hasil survei tersebut tidak bisa mewakili populasi penerima manfaat kartu Prakerja di DIY.

mengkaji ulang program kartu prakerja

Berdasarkan Data dari Disnakertrans DIY, jumlah pendaftar program Prakerja sekitar 155 ribu orang. Sedangkan menurut sebaran penerima Program Kartu Prakerja yang dirilis pemerintah pusat per 15 Desember 2020, ada 98.6 ribu penerima manfaat Kartu Prakerja di DIY.

Dari 97 responden yang masuk melalui survei kabarkota.com, terbanyak berusia 26-35 tahun (44.3 persen), disusul usia 36 – 45 tahun (30,9 persen). Selebihnya usia 17-25 tahun (15.5 persen), dan sisanya 45 tahun ke atas (9.3 persen). Sementara data pemerintah pusat,  sekitar 70 persen peserta program prakerja berusia 18-35 tahun. Sedangkan dari sisi pekerjaan, mayoritas atau sebanyak 37.1 persen responden tidak bekerja, dan ada 1 persen responden dari kalangan pelajar/mahasiswa.

Hasil Survei Efektivitas Kartu Prakerja di DIY juga menunjukkan bahwa sebanyak 84.4 persen responden termotivasi ikut program tersebut karena ingin mengikuti pelatihan, mendapatkan insentif, dan harapannya bisa segera punya usaha. Namun ada juga 3.1 persen responden yang mengaku hanya sekedar coba-coba.

Nia, salah satu penerima manfaat program Kartu Prakerja yang mengaku awalnya hanya sekedar ingin mencoba mendaftar, tapi justru bisa langsung lolos seleksi ketika pertama kali mendaftar. “Saya menjadi peserta Program Kartu Prakerja gelombang 13, pada bulan Mei 2021,” kata Nia kepada kabarkota.com. Dari data hasil survei efektivitas, sebanyak 9.4 persen responden di DIY menjadi penerima manfaat pada gelombang 13.

Dari jumlah pelatihan yang diikuti, sebanyak 43.8 persen atau mayoritas responden di DIY hanya mengikuti satu pelatihan. Sedangkan yang mengikuti lebih dari empat jenis pelatihan tercatat 7.8 persen. Jenis pelatihan yang diikuti paling banyak berjualan online atau daring (45.3 persen).  Data ini juga sesuai dengan delapan kategori pelatihann yang paling diminati versi pemerintah pusat. Penjualan dan pemasaran, dalam hal ini strategi dan pemasaran digital menempati urutan pertama paling banyak diikuti peserta.

Namun dari sisi kemanfaatannya, dalam bentuk penghasilan pasca pelatihan, sebanyak 65.1persen responden di DIY mengaku belum bisa menghasilkan uang dari keterampilan yang diikuti melalui program tersebut, dan hanya 34.9 persen responden yang mengaku telah menghasilkan uang dan akan menjadikan keterampilannya sebagai mata pencaharian utama.

Seorang peserta Program Kartu Prakerja di Yogyakarta Wiwik, mengaku, dirinya memilih pelatihan rias pengantin dan rias wajah sehari-hari. Namun, belum berniat menjadikan keterampilan yang ia dapatkan itu untuk mencari uang, apalagi profesi utama. Hal senada juga diungkapkan Joko, salah seorang pengemudi ojek online yang juga menjadi peserta program Kartu Prakerja. Bahkan, ia mengaku sulit memahami pelatihan cara membuat dimsum dan pelatihan barista. “Sekarang saya tidak tahu sama sekali. Kalau disuruh bikin dimsum, ya saya tidak bisa,” ucapnya.

Menurut pengakuan para responden, uang insentif yang mereka dapatkan paling banyak digunakan untuk biaya hidup (66.7 persen). Selain itu, 56.9 persen untuk modal usaha, dan ada 13.7 persen yang digunakan untuk biaya transportasi.

 

Buruh: Program Kartu Prakerja untuk Siapa?

Hadirnya program Kartu Prakerja yang diklaim sebagai solusi pengentasan pengangguran, mendapatkan penyikapan berbeda dari organisasi buruh di DIY.

 evaluasi program kartu prakerja

Ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) DIY, Dani Eko Wiyono menganggap program Kartu Prakerja tak berjalan sesuai arah. Menurutnya, program itu sekedar permainan perputaran uang saja. Penerima prakerja mendaftar, kemudian KTP sudah masuk di sana, lalu dana insentif masuk ke pihak penerima, dan sebagian harus digunakan untuk membeli pelatihan.

Dani berharap program tersebut segera dihentikan. Upaya pengentasan pengangguran lebih baik dilakukan pemerintah dengan mengaktifkan kembali dan mengoptimalkan peran Balai Latihan Kerja (BLK) di setiap daerah, dengan melibatkan Serikat Buruh.

“Kurang tepat kalau pemerintah itu memberikan bantuan itu langsung ke masyarakat karena mereka tidak bisa dikontrol, sehingga di sini sebenarnya peran Serikat Pekerja dibutuhkan untuk mengontrol pesertanya supaya mereka bisa mandiri,” anggapnya.

Pendamping Buruh Gendong DIY dari Yayasan Anisa Swasti (Yasanti) Yogyakarta berpandangan bahwa sebenarnya niat dari program tersebut bagus. Hanya saja, pemerintah perlu memikirkan keterbatasan akses Teknologi Informasi (TI)  pada sebagian masyarakat, seperti buruh gendong. Termasuk menggencarkan sosialisasi program tersebut hingga ke level terbawah.

Umi Asih menilai pelatihan-pelatihan melalui BLK akan jauh lebih efektif, karena peserta bisa mendapatkan pelatihan yang benar-benar sesuai dengan minatnya, dan mendapatkan bantuan insentif berupa permodalan setelah pelatihan sehingga mereka berpeluang untuk bisa bekerja secara mandiri.

Umi Asih menyebut, total perempuan buruh gendong dampingan Yasanti di DIY sebanyak 408 orang, dengan usia mayoritas lansia, dan hanya 40 persen yang tergolong usia produktif. Itu pun tidak ada dari mereka yang mengikuti program Kartu Prakerja karena minimnya akses informasi dan TI sebagai sarana pendukung untuk mengikuti program pemerintah pusat tersebut.

 

Pelaku Usaha tak Rasakan Dampak Program Kartu Prakerja

Ketua Umum Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY, Deddy Pranowo Eryono menganggap bahwa program Kartu Prakerja tidak efektif. Sebab yang dibutuhkan mereka bukan  pelatihan keterampilan, tapi butuh makan.

Menurut Deddy, para pelaku usaha, termasuk di sektor hotel dan restoran juga tidak akan merasakan dampak apa pun dari adanya program tersebut. Mengingat, di tengah pergerakan manusia yang belum optimal karena pandemi Covid-19, maka para pelaku usaha lebih membutuhkan dana operasional untuk bisa bertahan, dibandingkan merekrut tenaga kerja baru.

Lebih baik, kata dia, pemerintah menghidupkan lokomotif ekonomi terlebih dahulu, agar para pelaku usaha bisa kembali mengkaryakan para tenaga kerja yang sebelumnya telah dirumahkan.

Peneliti dari Indonesia for Global Justice (IGJ), Hafidz Arfandi juga berpandangan bahwa secara prinsip, program Kartu Prakerja ini juga didesain untuk menyambut perubahan kebutuhan industri, yang berkaitan dengan peningkatan keterampilan pekerja. Namun dalam praktiknya, konsep tersebut tidak diadopsi. Pelaksanaannya justru lebih mendorong orang untuk menjadi pelaku wirausaha.

“Catatan pentingnya bahwa program Kartu Prakerja ini keluar dari desain awal untuk skilling atau pun up-skilling, dan hanya memberikan bantuan sosial saja,” ucapnya.

Hafidz menyarankan agar pemerintah menggandeng asosiasi pengusaha dalam pemberian pelatihan sehingga program ini bisa berjalan lebih efektif. Sebab, para pelaku usaha yang memahami tentang kebutuhan tenaga kerja di dunia industri. “Standardisasi keterampilan yang diperoleh dari pelatihan Kartu Prakerja pun harus jelas,” pintanya.

 

Evaluasi Kartu Prakerja: Lanjut dengan Modifikasi

Dari berbagai dinamika yang terjadi dalam implementasi program Kartu Prakerja, Dosen Manajemen dan Kebijakan Publik (UGM), Gabriel Lele menilai, dari sisi ide, sebenarnya program pemerintah ini juga dimaksudkan untuk mengantisipasi era Revolusi Industri 4.0 yang mensyaratkan banyak sekali keterampilan dan jenis pekerjaan baru. Namun dari sisi hasil atau output program masih sangat terbatas. Terlebih di tengah pandemi Covid-19 yang karakteristik ekonomi dan tuntutan pekerjaannya sangat berbeda dibandingkan sebelum pandemi.

“Problem sekarang bukan pada suplai tenaga kerja, tetapi pada permintaannya, karena investasi terbatas, banyak perusahaan yang gulung tikar, dan seterusnya,” papar Gabriel.

Gabriel beranggapan bahwa program tersebut akan lebih efektif jika disalurkan kepada masyarakat yang memang berniat untuk membuka lapangan kerja atau usaha baru, jadi bukan untuk para pencari kerja. Namun jika sasarannya tetap para pencari kerja, maka semetinya ada perhitungan lain, seperti lapangan kerja yang akan dibuka dan membutuhkan keterampilan dari para penerima manfaat program Kartu Prakerja. Oleh karenanya, pemetaan para calon penerima manfaat juga penting untuk diperhatikan.

“Jika tidak dilakukan pemetaan seperti itu, misalnya target pemerintah adalah memenuhi kuota peserta program, maka itu tidak akan jadi apa-apa,” tegasnya.

Sementara terkait indikator untuk mengukur efektivitas program, menurutnya, perlu ada data jumlah penerima manfaat yang telah mengikuti pelatihan, kemudian menggunakan keterampilannya tersebut untuk bekerja atau pun menghasilkan uang. Tanpa pemetaan data yang jelas, maka efektivitas program Kartu Prakerja untuk mengentaskan pengangguran akan sulit diukur.

Gabriel menilai program Kartu Prakerja bisa saja dilanjutkan, hanya saja dengan memperhatikan sejumlah catatan. Diantaranya, para calon penerima manfaat harus melalui proses screening ketat, dan setelah menyelesaikan pelatihan juga harus dipantau guna memastikan yang bersangkutan bisa mendapatkan pekerjaan atau tidak.

Peneliti Kartu Prakerja di Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (DPSK) Fisipol UGM, Hempri Suyatna memaparkan, implementasi program Kartu Prakerja belum efektif sehingga masih  perlu perbaikan jika program ini akan dilanjutkan. Pertama, pemerintah menghubungkan antara alumni peserta Kartu Prakerja dengan perusahaan pencari kerja. Pasalnya, masih ada keraguan dari para pelaku usaha terhadap standar keterampilan para peserta program Kartu Prakerja.

Kedua, sistem manajemen yang hampir seluruhnya berbasis digital juga perlu diperbaiki. Sebab ketimpangan digital antar-daerah di Indonesia masih cukup tinggi. Ketiga, soal validasi dan akurasi data penerima manfaat juga harus diperbaiki. Keempat, metode pelatihannya semertinya tidak sekedar daring, tetapi juga dilakukan secara tatap muka.

Sama halnya dengan Gabriel, pihaknya juga menyatakan bahwa guna mengukur efektivitas program Kartu Prakerja untuk mengatasi masalah pengangguran, maka pemerintah harus bisa menunjukkan data valid tentang persentase alumni penerima manfaat yang terserap di perusahaan-perusahaan maupun mampu menciptakan lapangan usaha sendiri dari pelatihan yang mereka peroleh.

“Jika data itu bisa ditunjukkan secara valid, dan alumni program Kartu Prakerja yang terserap di dunia kerja mencapai 80 persen, maka itu baru bisa dikatakan bahwa program tersebut efektif,” ucap Hempri.

 

Program Kartu Prakerja perlu Perlibatan Pemerintah Daerah

Di lain pihak, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DIY, Huda Tri Yudiana mendorong agar kebijakan semacam ini, Pemerintah Pusat juga melibatkan Pemda sehingga daerah bisa turut megevaluasi pelaksanaan dan pemanfaatan program tersebut. Di samping itu, masing-masing daerah juga memiliki potensi sumber daya, sekaligus persoalan yang berbeda-beda dalam mengatasi persoalan pengangguran.

“Jangan se-Indonesia itu dianggap sama, dan metodenya juga sama. Itu tidak bisa,” tegas Huda.

Namun demikian, pihaknya menilai, motivasi dari program tersebut sebenarnya baik untuk membuka peluang wirausaha. Hanya saja, metodenya kurang tepat. “Semestinya, Pemda di Kabupaten/Kota dengan diawasi Provinsi yang Menyusun pelatihan dan metode yang cocok,” harapnya.

Hal itu, kata Huda, karena untuk menentukan model-model pelatihan yang tepat itu membutuhkan assessment. “Menurut saya pribadi, program Kartu Prakerja perlu dievaluasi,” sambungnya.

Jika substansinya mengucurkan anggaran untuk pengentasan pengangguran, kata Huda, maka sebaiknya program tersebut dikerjsamakan dengan Pemda secara partisipatif, bukan melalui pendekatan top down.

 

Tim Liputan

Masjidi (Koordinator Liputan), M. Faried Cahyono (Editor), Aras (Infografis), Tria (Reporter), dan Wawan (Reporter)

Pos terkait