Forum Komunikasi dan Koordinasi Nasional Penanganan Faham Radikal Tahun 2016, di Jakarta, Selasa (12/4/2016). (M. Faried Cahyono/kabarkota.com)
JAKARTA (kabarkota.com) – Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menyebut gerakan teror pasca Orde Baru (Orba) cenderung memanfaatkan keterbukaan dan isu Hak Asasi Manusia (HAM).
Hal itu seperti disampaikan Kepala Badan Pemeliharaan dan Keamanan (Kabarhakam) Polri, Putut Eko Bayuseno dalam Forum Komunikasi dan Koordinasi Nasional Penanganan Faham Radikal Tahun 2016, di Jakarta, Selasa (12/4/2016).
“Secara mikro, kepolisian melihat radikalisme bisa dipicu oleh media karena efek pemberitaan tentang kelemahan dan kejelekan negara,” kata Putut.
Arus dana internasional, menurutnya juga punya pengaruh kuat. “Pelaku teror baru memahami ketika sudah berada di penjara, bahwa mereka diadu domba,” ungkapnya. Maka tak jarang regrouping justru terjadi di dalam lapas.
“Pelaku teror itu mayoritas pengangguran, orang yang punya masalah ekonomi, keluarga dan korban penindasan baik oleh keluarga maupun pihak luar dan berusia relatif muda,” kata Putut.
Untuk itu, penanganan dengan soft power yang dilakukan Babinkamtibmas bersama sejumlah elemen diharapkan bisa menjadi upaya deradikalisasi yang efektif.
Sementara Herman Chaidar dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menjelaskan, lembaganya merupakan metamorfosis satgas anti bom bentukan kasus bom Bali oleh Komisi I DPR RI.
“Target teroris zaman dulu adalah Amerika, sekarang yang disasar pemerintah, utamanya polisi karena dianggap membatasi ruang gerak mereka,” anggap Herman. (Rep-02/Rep-03/Ed-03)