Pro Kontra: Pasca Persidangan IPT 65 Indonesia Harus Apa?

Ilustrasi (rappler.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Baru-baru ini, sidang Pengadilan Rakyat Internasional atau International People’s Tribunnal 1965 (IPT 65) di Den Haag Belanda memutuskan bahwa Indonesia bertanggung-jawab atas 10 tindakan kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) berat, pada peristiwa 1965 – 1966.

Bacaan Lainnya

Koordinator IPT 65, Nursyahbani Kantjasungkana, sebagaimana dilansir sejumlah media massa menyebutkan, 10 tindak kejahatan HAM berat itu mencakup pembunuhan massal, pemusnahan, pemenjaraan, perbudakan, penyiksaan, penghilangan paksa, kekerasan seksual, pengasingan, propaganda palsu, keterlibatan Negara lain, dan genosida.

Karenanya, IPT 65 meminta agar pemerintah melakukan penyidikan dan mengadili semua pelanggaran terhadap kemanusiaan itu, memberikan kompensasi dan santunan yang memadai kepada korban dan penyitas, serta melakukan rehabilitasi untuk mereka, dan menghentikan pengejaran yang masih dilakukan pihak berwajib hingga kini.

Namun, jauh hari, tepatnya pada 26 Juni 2016 lalu, Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) secara tegas di hadapan kelarga besar TNI menyatakan tak akan meminta maaf kepada Partai Komunis Indonesia (PKI), yang lekat dengan peristiwa berdarah pada 1965 – 1966 tersebut.

“Sekali lagi tidak ada rencana untuk meminta maaf kepada PKI,” tegas Presiden seperti dikutip laman Setkab, 27 Juni 2016.

Sinyal penolakan atas putusan itu juga diutarakan Menteri Koordinator Poltik Hukum dan HAM (Menko Polhukam), Luhur Binsar Panjaitan, yang sebelumnya juga mengklaim bahwa pemerintah memiliki cara tersendiri dalam menyelesaikan konflik tersebut.

Senada dengan Menko Polhukam, Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Hanafi Rais, juga menganggap, putusan IPT 65 tak memiliki legalitas, sebab Indonesia mempunyai kedaulatan yang tak bisa diintervers oleh negara manapun.

“Asalkan pemerintah kompak, Presiden, Menko Polhukam, Menlu, Polri, dan TNI dan yang lain, maka tidak akan ada pengaruhnya keputusan IPT itu,” tegas Politikus PAN ini seperti dikutip laman viva.co.id, 22 Juli 2016.

Sementara, Staf Divisi Ekosob LBH Yogyakarta, Ikhwan Sapta Nugraha berpendapat, meskipun IPT memang bukan forum yang mengikat Indonesia secara hukum internasinal, namun bukan tidak mungkin, hasil persidangan itu menjadi rujukan peristiwa tahun 1965, oleh organisasi-organisasi internasional, seperti PBB maupun NGO.

“Apabila IPT 65 sampai dijadikan rujukan oleh PBB atau malahrujukan untuk mengelar persidangan pelanggaran HAM berat di Mahkamah Internasional, maka urusan pritiwa 1965 bukan lagi urusan maaf memaafkan, tapi sudah masuk ke dalam pelanggaran hukum internasional.walapun memang untuk sampai kesana masih jauh,”ujarnya saat dihubungi kabarkota.com, Sabtu (23/7/2016).

Jadi menurutnya, pemerintah tetap berpikir obyektif dengan menjadikan hasil persidangan itu sebagai rujukan dalam penyelesaian permasalahan dan indikasi pelanggarah HAM pd pembantaian 1965.

Tri Wahyu KH, Direktur Indonesia Court Monitoring (ICM) menambahkan, hasil IPT 65 dapat memperkuat kejaksaan agung untuk penyelidikan dan penyidikan pelanggaran HAM berat masa lalu,yang dalam hal ini adalah kasus 65.

“Pertanyaan kritis publik “berkomitmen kah Presiden Jokowi tuntaskan kasus pelanggaran HAM berat ?” Termasuk tegas ke Jaksa agung agar segera tuntaskan?” Tanya Wahyu. (Rep-03/Ed-03)

Pos terkait