Pojok Bulaksumur “Dari Janji ke Aksi: 100 Hari Program Kerja Prabowo-Gibran”, di Selasar Tengah Gedung Pusat UGM, pada 7 Februari 2025. (dok. kabarkota.com)
SLEMAN (kabarkota.com) – Sejumlah pakar dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menilai 100 hari kinerja Pemerintahan Prabowo – Gibran.
Penilaian tersebut mereka sampaikan dalam Pojok Bulaksumur “Dari Janji ke Aksi: 100 Hari Program Kerja Prabowo-Gibran”, di Selasar Tengah Gedung Pusat UGM, pada 7 Februari 2025.
Pakar Politik UGM, Mada Sukmajati berpendapat bahwa 100 hari menjadi tradisi baik karena mendorong pemimpin terpilih bisa segera merealisasikan program-program yang mereka kampanyekan sebelumnya.
Mada menilai, dalam 100 hari pertama sebagai presiden RI, Prabowo kurang blusukan ke masyarakat. Padahal, jika Prabowo ingin menjadi pemimpin tipe soldierity matters murni ala Bung Karno, maka seharusnya merakyat.
“Cobalah Prabowo blusukan di pedalaman-pedalaman,” kata Mada. Sebab, retorika dan visi ke depan itu dibangun dari interaksi pemimpin dengan masyarakat secara langsung.
Selain itu, dosen Fisipol UGM ini juga menganggap, janji-janji Prabowo – Gibran dalam Asta Cita atau delapan program prioritas belum terealisasi secara konkret, karena minim kejelasan dalam perencanaan dan eksekusi. Diantaranya, program Makan Bergizi Gratis (MBG), pemeriksaan kesehatan gratis, dan pembangunan sekolah unggul.
Oleh karenanya, Mada menilai bahwa 100 hari pemerintahan Prabowo – Gibran masih banyak yang perlu diperbaiki.
“Fokus saja ke delapan program prioritas itu. Minimal desainnya dulu dalam beberapa minggu ke depan… siapa melakukan apa, kapan, di mana. Itu pertanyaan-pertanyaan dasar yang harus dijawab. Kalau pertanyaan-pertanyaan dasar saja tidak bisa dijawab, berarti desainnya memang tidak ada,” sambung Mada.
Sedangkan Dosen Fakultas Hukum UGM, Hendry Noor Julian berpandangan bahwa di awal pemerintahannya, ide Prabowo yang akan memaafkan koruptor menuai banyak kritik dan kecaman. Sebab dalam perspektif hukum, status seseorang sebagai koruptor harus berdasarkan putusan hukum berkekuatan tetap.
Oleh karenanya, lanjut Hendry, jika ada mekanisme yang memungkinkan koruptor bebas setelah mengembalikan uang negara, maka hal ini akan menimbulkan banyak persoalan, terutama dalam hal penegakan hukum dan keadilan.
“Kalau melihat pranata dan aparat sekarang, bahkan saya kurang yakin di atas 20 persen kebijakan ini bisa berhasil,” tegasnya.
Sementara Ekonom UGM, Yudistira Hendra Permana menilai, komitmen dan langkah yang diambil oleh Pemerintah Prabowo – Gibran tidak jelas, dalam 100 hari kepemimpinannya.
Yudhistira menganggap, target pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen terlalu ambisius. Mengingat, saat ini kondisi ekonomi global masih mengalami perlambatan. Bahkan, dalam beberapa bulan terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia justru menghadapi tekanan deflasi
“Saya rasa, capaian 8 persen dalam 5 tahun ke depan tidak realistis tanpa strategi konkret dan kebijakan ekonomi yang lebih terstruktur,” tuturnya.
Selain itu, Yudistira juga menyinggung soal kebijakan pemangkasan anggaran di berbagai sektor sebagai dampak dari defisit fiskal yang semakin membesar. Sekaligus, kebijakan yang kurang memperhitungkan keberlanjutan ekonomi dalam jangka panjang. (Rep-01)