Ilustrasi: Jumpa Pers penangkapan tiga tersangka pelaku klitih di Polsek Umbulharjo Yogyakarta, 8 Desember 2019 (dok. kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Klitih masih menjadi permasalahan yang mengemuka di masyarakat Yogyakarta. Meski berbagai upaya telah dilakukan banyak pihak untuk mengatasi permasalahan tersebut, namun kasus demi kasus klitih masih terus bermunculan.
Kasus terbaru pada 8 Desember 2029, Polsek Umbulharjo Yogyakarta mengamankan tiga tersangka pelaku klitih yang berinisial AM, NS, dan IN. Ironisnya, ketiganya masih berstatus pelajar SMP.
Kapolsek Umbulharjo, Ilaal Prasetyo mengungkapkan, para pelaku mengendarai satu sepeda motor, dengan membawa senjata tajam saat melancarkan aksinya di wilayah Banguntapan, Bantul, pada 10 November 2019 lalu.
Menurut Kapolsek, sebelum melakukan penganiayaan dengan senjata tajam, pelaku sempat menanyakan beberapa hal kepada korban, Muhammad Awan Sektiyanato yang juga berboncengan tiga saat melintas di jalan Balairejo, Muja-Muju Yogyakarta.
Akibat peristiwa itu, Ilaal mengatakan, korban mengalami luka cukup parah di bagian kepala dan tangan, hingga harus menjalani operasi di rumah sakit, karena urat nadi putus di bagian pergelangan tangan kanan dan di lengan kirinya.
Sedangkan para pelaku disangkakan melanggar tindak pidana pengeroyokan dan penganiayaan yang mengakibatkan korban luka berat, dengan ancaman penjara maksimal lima tahun.
Ilaal berdalih kasus klitih yang terus berulang di Yogyakarta itu tak lepas dari banyaknya pelaku di bawah umur.
“Mereka tidak bisa dibawa ke ranah hukum, dan relatif diserahkan kembali ke orangtuanya (deversi),” jelasnya kepada kabarkota.com, Senin (9/12/2019)
“Lahirnya” Klitih di Yogya
Hampir setiap kali menyebut kata klitih yang kemudian terlintas di benak masyarakat Yogyakarta adalah aksi kekerasan di jalan yang dilakukan oleh gerombolan geng motor dan umumnya pelaku masih usia pelajar.
Sejarawan UGM, Julianto Ibrahim membeberkan bahwa sebenarnya klitih hanya salah satu istilah yang dipakai dalam geng sekolah. Karena di Yogyakarta, maka mereka menggunakan istilah-istilah yang melekat dengan mereka.
“Klitih adalah konvoi memutari kota yang biasanya sengaja melewati markas geng musuh, yang bertujuan untuk terciptanya tawuran,” jelas Julianto dalam seminar tentang Klitih, di UGM, 12 Juli 2018.
Fenomena klitih ini tak lepas dari “budaya” kekerasan yang telah berlangsung lama dan dilakukan oleh kaum-kaum kriminal pada masa lalu. Berawal dari Jagoan Grayak yang muncul di era 1945-1955. Pada masa revolusi kemerdekaan ini, ada hubungan simbiosis mutualisme antara kaum kriminal dengan penyelenggara Negara dan kekuatan politik.
Kemudian pada awal Orde Baru (Orba), yakni sekitar tahun 1965 – 1984 juga muncul Gabungan Anak Liar (Gali). Anggota gali ini pada masa itu adalah anak-anak orang kaya dan anak pejabat yang sedang mencari identitas diri dan mereka membentuk geng-geng motor.
“Gali ini sebenarnya muncul sebagai protes pembangunan yang hanya mementingkan fisik bukan hati, keluarga yang tidak peduli tapi kehendaknya harus dituruti, sehingga “rumah” yang nyaman bagi mereka adalah jalanan,” paparnya lagi.
Khusus di Yogyakarta, pada tahun 1980, fenomena gali sudah sangat meresahkan masyarakat, dengan aksi-aksi kriminalnya. Puncaknya adalah kematian putra dari Komandan Kodim 0734, Muhammad Hasbi, di selokan Mataram. Akibatnya, Muhammad Hasbi melakukan penumpasan gali di Yogyakarta yang kemudian meluas ke seluruh Indonesia, dengan nama Operasi Penumpasan Kejahatan (OPK) atau juga Penembakan Misterius (Petrus).
“Menariknya, dengan pemberantasan gali yang dimulai tahun 1982 hingga akhir 1983 atau awal tahun 1984, “dunia gelap” di Yogyakarta ini tidak ada tuannya. Lalu muncullah anak-anak kecil yang membuat geng-geng,” kata Julianto.
Di Kauman misalnya, pada tahun 1984 – 1995, ada yang namanya Joxzin bermarkas di pojok dekat benteng yang kemudian berganti nama menjadi Jaka Sinting. Basis geng ini di Yogya selatan, di Kotagede, Karangkajen, dan sekitarnya. Geng terbesar lainnya adalah Qzruh yang mulai aktif tahun 1985 – 1995. Qizruh yang bermarkas di Yogya sisi utara ini menjadi musuh bagi Joxzin.
Namun setelah kedua geng besar tersebut tak aktif lagi, sebagian anggotanya berafiliasi dengan Partai Politik (Parpol). sedangkan geng-geng sekolah mulai marak, hingga tawuran antarsekolah sering terjadi, sejak awal tahun 1994. Hanya saja pada tahun 2004, ketika awal pelaksanaan Ujian Nasional (UN), banyak siswa yang tidak lulus sehingga sekolah-sekolah melakukan penambahan jam belajar siswanya, dengan kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler. Sementara anak-anak yang masih suka “berkeliaran” di jalanan, mulai kesulitan menemukan musuh mereka.
“Itu kenapa kemudian klitih menjadikan siapa saja sebagai sasaran,” ucapnya.
Cegah Klitih, DPRD DIY Wacanakan Bus Sekolah Gratis
Maraknya klitih di kalangan pelajar juga mengundang keprihatinan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DIY.
Wakil Ketua DPRD DIY, Huda Triyudiana mengaku, pihaknya tengah mewacanakan bus sekolah gratis yang nantinya akan difasilitasi dengan Trans Jogja.
“Trans Jogja itu satu wahana yang cocok untuk bus sekolah di perkotaan. Di pedesaan, nanti juga akan kami pikirkan,” kata Huda, di Kantor DPRD DIY, baru-baru ini.
Huda menganggap fasilitas transportasi publik untuk pelajar itu penting, mengingat sekarang ini anak-anak pelajar sekolah banyak yang mengendarai sepeda motor, padahal belum memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM). Sementara untuk naik kendaraan umum juga belum ada fasilitas dari pemerintah yang cukup memadahi untuk mendukung mobilitas mereka dari rumah ke sekolah, maupun sebaliknya.
“Tapi ini masih perlu kami bicarakan dengan komisi C, Dinas Perhubungan, dan Gubernur, apakah akan disetujui atau tidak untuk menggratisnya Trans Jogja untuk pelajar,” tegasnya.
Hanya saja, lanjut politisi PKS ini, secara perhitungan sangat memungkinkan, dengan jumlah pelajar di Yogyakarta yang tak terlalu banyak, dan anggaran subsidi lebih dari Rp 80 Miliar per tahun untuk Trans Jogja.
“Saya yakin ini bisa dilakukan tanpa perlu menambah anggaran (subsidi),” anggapnya.
Wacana Bus Sekolah Gratis dapat sambutan Beragam
Wacana anggota dewan provinsi ini pun mendapat sambutan beragam dari beberapa pihak. Polsek Umbulharjo Yogyakarta, misalnya, menyambut positif wacana tersebut.
Humas Polsek Umbulharjo, Widodo Lestari menilai, wacana bus gratis untuk pelajar bisa menekan kepadatan lalu-lintas di Kota Yogyakarta. Sekaligus, mengurangi penggunaan sepeda motor oleh anak di bawah umur yang notabene emosinya masih labil.
Terlebih, Widodo menyebut, kasus-kasus klitih, khususnya di wilayah Umbulharjo, rata-rata pelakunya anak di bawah umur, baik yang berstatus pelajar maupun putus sekolah.
“Di bulan November 2019 saja, ada dua kejadian,” kata Widodo kepada kabarkota.com, Senin (9/12/2019).
Lain halnya dengan pendapat pengamat pendidikan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Khamim Zarkasih Putro.
Khamim berpandangan bahwa memang menggratiskan tiket bus untuk pelajar akan menjadikan sebagian dari mereja beralih ke alat transportasi umum ini. Namun, untuk mengurangi aksi klitih belum tentu efektif.
“Bisa mengurangi klitih apabila orang tua siswa juga memberikan dukungan kepada anaknya untuk ganti ke transportasi umum. Sekaligus memperhatikan kepentingan anaknya, semisal orang tua juga antar jemput ke halte tempat anak naik dan turun,” jelas Khamim.
Akan tetapi, lanjutnya, bus sekolah gratis tak signifikan untuk mengurangi klitih di kalangan pelajar, jika armadanya terbatas dan kurang nyaman. Ditambah lagi, dengan sistem zonasi sehingga kebutuhan transportasi umum tidak terlalu besar karena jarak ke sekolah makin dekat.
Khamim justru menganggap, upaya pencegahan klitih akan lebih efektif jika pemerintah daerah lebih banyak menyediakan fasilitas berupa ruang publik untuk remaja mengekspresikan hobi, dan pengisian waktu luang.
“Perbanyak fasilitas pengembangan bakat dan hobi. Libatkan anak dan remaja pada kegiatan bersama yang bersifat kooperatif, bukan kompetitif,” harapnya. (Rep-01)