YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Masyarakat Antikekerasan Yogyakarta (Makaryo) mencatat, sepanjang tahun 2014 ini, sedikitnya sembilan kasus kekerasan massa yang terjadi di DIY.
Aktivis Makaryo yang juga Direktur LBH Yogyakarta, Samsudin Nurseha menganggap, pemda sebagai bagian dari pejabat publik lalai dalam menjalankan kewajiban konstitusionalnya.
"Ini bagian dari kritik untuk pejabat publik", tegas Samsudin kepada wartawan, saat menggelar jumpa pers di LBH Yogyakarta, Selasa (3/6).
Padahal seharusnya, sambung dia, mengacu pada Undang-Undang tentang HAM, Konvensi tentang Hak Sipil serta Undang-Undang tentang Keistimewaan DIY, pemerintah memiliki kewajiban untuk memenuhi HAM setiap warga negaranya.
Oleh karena itu, Koordinator Makaryo, Beni Susanto menegaskan, pihaknya mendesak pemerintah dan para penegak hukum untuk segera mengambil tindakan preventif terhadap berbagai gejala tindak kekerasan, dan menindak tegas para pelakunya.
"Kami juga merekomendasikan Kapolri untuk mengganti Kapolda DIY karena tidak menjalankan amanat konstitusi, terutama dalam pelaksanaan rencana aksi HAM di DIY", tandas Beni.
Pasalnya, banyak kasus pelanggaran HAM yang tidak diselesaikan dan cenderung diabaikan.
Makaryo juga mengajak masyarakat untuk terlibat aktif dalam upaya menjaga keberagaman di DIY sebagai kota toleran. Hal itu, kata Beni, dapat diwujudkan dengan tidak mudah terprovokasi oleh pihak-pihak yang berupaya merusak kenyamanan dan keamanan di DIY.
Lebih lanjut, Makaryo juga meminta agar penghargaan Sultan sebagai Tokoh Toleran dicabut, karena mereka menganggap, DIY sudah tidak layak disebut sebagai Kota Toleran (City of Tolerance).
Sementara terkait sebutan City of Tolerance, Anggota Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Sleman, Daryoto yang ditemui terpisah menganggap, Yogyakarta masih layak mendapatkan predikat tersebut.
"Toleransi di sini masih bagus", katanya kepada Wartawan di rumah dinas Bupati Sleman, 1 Juni 2014.
Meski pun pihaknya juga mengakui, masih ada kendala komunikasi antar kelompok karena masyarakatnya yang heterogen, baik dari latar belakang budaya maupun agamanya.
Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) DIY, Ahmad Muhsin Kamaludiningrat, saat ditemui kabarkota.com, di Kauman, 2 Juni 2014 kemarin berpendapat bahwa munculnya intoleransi itu, karena ada pihak-pihak yang tidak tepo saliro (tenggang rasa) dan mawas diri, serta adanya diktator minoritas.
"Kalau semua bisa bicara dari hati ke hati maka sebenarnya mudah saja penyelesaian masalahnya,", ucapnya. (tria/aif)