Sewindu UUK DIY dan Nasib Pejuang Keistimewaan dari Desa

Ketua Paguyuban Dukuh DIY, Sukiman Hadiwiyono (dok. istimewa)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UUK DIY) lahir dari perjuangan panjang rakyat Yogyakarta, termasuk dari pada kepala desa dan perangkat desa hingga padukuhan.

Bacaan Lainnya

Setelah genap sewindu atau delapan tahun disahkan dan diimplementasinya, para pejuang keistimewaan, khususnya dari desa yang ketika itu getol menuntut ke pemerintah pusat agar segera disahkan UU No 13 Tahun 2012, kini masih harus bersabar untuk bisa ikut “menikmati” buah dari perjuangan mereka tersebut.

Ketua Paguyuban Dukuh DIY, Sukiman Hadiwijoyo menganggap bahwa selama ini desa ataupun padukuhan belum mendapatkan perhatian secara intensif, sebagaimana yang mereka harapkan ketika memperjuangkan UUK tersebut.

“Desa itu getol karena merasa bahwa seorang kepala desa atau perangkat desa itu hidupnya dari pelungguh yang notabene tanahnya milik keraton makanya ketika keraton akan membuat keistimewaan itu semanga yang berapi-api itu berangkat dari desa,” ungkap Sukiman, kepada kabarkota.com, Senin (31/8/2020).

Namun, setelah delapan tahun UUK DIY disahkan, pengaturan tentang tata kelola pertanahan, khususnya di desa justru mengacu sepenuhnya pada UU Desa yang tidak mengakomodir masukan dari masyarakat dan terkesan mengabaikan aspek sejarahnya.

Pihaknya mencontohkan, jika mengacu pada UU Desa, maka penyebutannya Kepala desa, Sekretaris Desa dan sebagainya. Sementara sekarang, nomenklaturnya sudah dikembalikan sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) di masing-masing Kabupaten se-DIY yang mengacu pada UUK DIY. Meskipun untuk Kabupaten Sleman, pelantikannya baru sampai di tingkat kecamatan, sedangkan desa atau kalurahan belum.

Dalam pembagian tanah desa dalam sejarahnya ada kas desa, tanah lungguh, dan pengarem-arem. Pengaturannya, tujuh tanah lungguh untuk Kepala Desa, lima untuk Sekretaris Desa/carik, empat untuk perangkat desa, dan empat untuk Kepala Dukuh. Sedangkan pengarem-arem yang luasnya 1/5 dari lungguh itu diberikan keraton seumur hidup sampai 1.000 hari kematian penerima lungguh tersebut.

“Sekarang ini dalam pengaturan belum sesuai dengan yang disejarahkan dulu,” sesalnya.

Selain itu, terkait Dana Keistimewaan (Danais), Sukiman juga beranggapan bahwa pembangunan di tingkat desa hingga padukuhan belum terakomodir melalui Danais. Padahal, harapannya dengan kucuran Danais yang angkanya mencapai lebih dari Rp 1 Triliun di Pemda DIY tersebut bisa ditransfer juga ke desa, tanpa melalui kabupaten sehingga pembangunannya lebih merata.

Misalnya, sebut Sukiman, dari 392 desa se- DIY itu mendapatkan alokasi anggaran Rp 2 Miliar saja, maka angkanya belum mencapai Rp 1 Triliun.

“Jika desa ‘diopeni’ (diperhatikan) karena khazanah keistimewaan itu ada di desa. saya kira kalau DIY mengajukan danais Rp 2 Triliun ke Pemerintah Pusat itu masih wajar untuk sekelas DIY,” anggapnya.

Dengan begitu, kata Sukiman, Pemerintah Desa dan masyarakat di perdesaan juga bisa membangun dan mensejahterakan wilayahnya masing-masing. Tidak seperti sekarang yang masih tersentralistik hanya di provinsi saja, baik itu di Keraton, Pakualaman maupun di Kepatihan saja.

“Toh nanti, pembangunan juga akan merata, provinsi membangun, kabupaten, kota dan desanya juga membangun. Ini yang kami mohon ada percepatan sampai ke desa, sehingga tidak menunggu lebih lama lagi,” harapnya.

Mengingat, kata dia, selama ini desa masih diatur melalui topdown Pemda DIY, dalam bentuk mengambil atau mengajukan proposal untuk kegiatan budaya saja. sedangkan yang sifatnya pembangunan keistimewaan ada. Padahal, Danais ini lebih simpel pengaturannya dibandingkan dengan dana desa yang bisa ditransfer dari APBN langsung ke Desa.

“Sekarang masih menggunakan dua UU, makanya belum jelas, dan bisa saling menyalahkan kalau tidak tepat,” sambungnya. (Rep-02)

Pos terkait