Kabut Tebal di Yogya, Ini Penjelasannya

Kabut menyemuti sejumlah wilayah di DIY, Sabtu (26/8/2017) pagi. (Sutriyati/kabarkota.com)

SLEMAN (kabarkota.com) – Langit Yogyakarta, Sabtu (26/8/2017) pagi tampak diselimuti kabut tebal hingga memperpendek jarak pandang, dan menimbulkan tanda tanya di masyarakat.

Salah seorang warga Sleman, Rani sempat mengira, kabut tersebut adalah abu dari gunung Merapi. Terlebih, ia juga menerima pesan berantai yang berisi berita dari salah satu portal online yang bertajuk “Hujan Abu Gunung Merapi Menyelimuti Kota Yogyakarta”. Namun setelah dibaca ulang, ternyata berita lawas yang sengaja disebarkan oleh pihak-pihak yang tak bertanggung-jawab.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Bagian Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) DIY, Agus Sudaryatno menjelaskan, kabut tebal di pagi hari wajar terjadi di musim pancaroba seperti sekarang.

“Kalau musim pancaroba itu memang normalnya kelembaban tinggi. Karena kelembaban tinggi dan langitnya cerah, biasanya akan terjadi kabut di dataran tinggi,” kata Agus kepada kabarkota.com.

Menurutnya, ketika suhu udara di kisaran 26 – 27 derajat celcius dan kelembabannya lebih dari 80 persen, maka pagi hari akan terbentuk kabut tebal di wilayah dataran tinggi, seperti Sleman dan sekitarnya.

Agus juga menyatakan, kabut tebal ini tak mengganggu kesehatan sehingga pihaknya mengimbau agar masyarakat tak perlu resah dengan fenomena alam yang biasa terjadi pada saat peralihan musim, dari kemarau ke musim hujan ataupun sebaliknya.

Sementara terkait dengan berita yang dikaitkan dengan aktivitas gunung Merapi, Agus menegaskan, itu bukan menjadi ranahnya untuk menjelaskan. Hanya saja, masyarakat tetap diminta untuk tidak langsung percaya dengan informasi-informasi yang belum tentu kebenarannya.

Komandan Tim Reaksi Cepat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (TRC BPBD) DIY, Pristiawan juga menegaskan bahwa kabut tersebut tak terkait dengan akrivitas gunung Merapi.

“Tidak ada (hujan abu). Merapi aman,” ucapnya singkat.


Foto Puncak Gunung Merapi, Sabtu (26/8/2017) pagi. (dok. istimewa)

Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) DIY, I Gusti Made Agung Nandaka, dalam siaran persnya juga menegaskan bahwa berdasarkan hasil pengamatan visual dan instrumental, aktivitas Gunung Merapi dalam tingkat aktivitas Normal.

“Jika terjadi perubahan aktivitas gunung Merapi yang signifikan, maka tingkat aktivitasnya akan segera kami tinjau kembali,” tulisnya. (Ed-03)

SUTRIYATI

Membangun Kesadaran Bencana Melalui Eko-Eduwisata Hutan Mangrove di Baros

Ilustrasi: Aksi turis manca negara menanam pohon mangrove di Baros (dok. istimewa)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Dulu, bercocok tanam di sekitar dusun Baros, Desa Tirtohargo, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, DIY merupakan kemustahilan. Uap laut dari pesisir selatan yang tak jauh dari wilayah tersebut telah merusakkan lahan pertanian dan berbagai tanaman yang tumbuh di sana.

Warsono atau akrab dipanggil mbah Warso adalah salah satu warga yang sangat memahami kondisi alam di wilayah Baros ketika itu. Jangankan pertanian, pepohonan kelapa yang tumbuh tinggi menjulang, dedauannya rontok akibat terkena uap air laut.

Belum lagi persoalan sampah dari tempuran sungai Bedog, Oya, dan Opak yang seolah tak ada habisnya, meski telah dibersihkan berkali-kali. Terlebih saat terjadi banjir.

Mbah Warso, salah satu perintis hutan mangrove Baros (sutriyati/kabarkota.com)

Kondisi lingkungan seperti itu akhirnya mendorong mbah Warso dan beberapa warga merintis penanaman bakau, pada tahun 2003 silam. Tepatnya, di sepanjang tepi sungai Opak yang membentang dari Pantai Depok di sisi timur hingga Pantai Samas di barat Baros.

Dengan dukungan dari berbagai pihak, mulai dari mahasiswa, BUMN, hingga pemerintah Kabupaten Bantul, dan Pemerintah Daerah (Pemda) DIY, mbah Warso cs berhasil menanam empat jenis bakau (mangrove) dengan luasan sekitar 15 hektar. Namun, lagi-lagi karena seringnya terjadi banjir, pepohonan bakau yang sekarang tumbuh menjadi hutan mangrove kurang lebih hanya 4 hektar.

Hutan mangrove Baros (sutriyati/kabarkota.com)

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) DIY, I Nyoman Sukanta, saat dihubungi kabarkota.com, 11 Agustus 2017, menjelaskan berbagai manfaat tanaman tersebut untuk pencegahan bencana alam. Diantaranya, keberadaan hutan mangrove memang mampu mengurangi abrasi pantai, menghindari terjadinya banjir rob, serta dapat mengeleminir energi tsunami.

Tak hanya itu saja, tanaman bakau pun mampu meningkatkan kadar oksigen di udara, perkembangbiakan udang dan ikan di pantai, dan bisa jiga dikembangkan sebagai hutan wisata.

Sejalan dengan itu, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta, Halik Sandera yang sebelumnya pernah melakukan pengamatan di kawasan hutan mangrove Baros mengungkapkan, kerusakan alam akibat abrasi di sana cukup signifikan. Salah satunya menyebabkan suplai material pasir dari hulu berkurang.

“Secara kawasan sebenarnya hutan mangrove di Baros tak bisa dikembangkan, karena lahannya tak terlalu luas, sementara tanaman bakau perlu lahan berlumpur untuk bisa tumbuh maksimal. Meski demikian, masih bisa dijadikan lokasi pembelajaran, selain berfungsi juga untuk melindungi lahan pertanian disekitarnya,” papar Halik.

Meski butuh waktu lama, namun upaya mbah Warso tak sia-sia. Kini, selain telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi taman pesisir, para pemuda yang dimotori salah satunya oleh Dwi Ratmanto, sejak tahun 2012 lalu, telah mengembangkan eko-eduwisata bertema “agrosilfofishery tourism”. Pengembangan wisata berbasis pendidikan lingkungan itu didasarkan pada Surat Keputusan (SK) Bupati Bantul No 284/2014 tentang Pencanangan Konservasi Taman Pesisir.

Ikon Kawasan Hutan Mangrove Baros (sutriyati/kabarkota.com)

“Kawasan kami adalah kawasan pencadangan taman pesisir, jadi di kawasan mangrove yang sebagian di sekitar sungai Opak tidak boleh dibuka untuk wisata massal (mass tourism). Karena itu, kami mengembangkan special interest tourim,” jelas Divisi Konservasi KP2B ini.

Dengan berbagai paket wisata yang ditawarkan, seperti live in kampoeng, camping hutan mangrove, atraksi wisata, konservasi, dan kunjungan keluar, dalam sebulan pihaknya mampu menggaet 400-700 wisatawan, baik lokal maupun manca negara.

“80 persen wisatawan memilih tanam pohon mangrove (paket konservasi,” imbuhnya.

Tingginya animo wisatawan untuk turut menjaga kelestarian alam itu, juga dibarengi dengan kesadaran masyarakat sekitar terhadap ancaman bencana yang telah mereka pahami sebelumnya.

“Kami berharap, kehidupan pertanian,perikanan lengkap dengan budaya dan adat istiadatnya bisa lestari serta harmonis sehingga mampu membawa kesejahteran untuk semua,” harap Dwi.

Sekretaris Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY, Heru Suroso berpendapat bahwa salah satu yang menjadi pembeda dari upaya penanggulangan bencana di DIY dibandingkan daerah-daerah lain adalah masyarakatnya yang tangguh dan mandiri sehingga penanggulangan bencana bisa berjalan secara efektif dan efisien. (Ed-03)

SUTRIYATI

Ada Bahaya Tsunami di Bandara Kulon Progo, Apa Kata Pemerintah?

Ilustrasi (airport.id)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulon Progo, DIY ditargetkan mulai beroperasi pada tahun 2019 mendatang. Karenanya, sejak peletakan batu pertama oleh Presiden RI, Joko Widodo pada 27 Januari 2017 lalu hingga kini pembangunan mega proyek tersebut terus digenjot.

Namun di sisi lain, masih ada pertanyaan besar dari sebagian pihak terkait dengan kelayakan lingkungannya, mengingat posisi bandara yang berlokasi di dekat pesisir pantai selatan DIY.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta yang selama ini memberikan pendampingan hukum bagi warga Kulon Progo yang tergabung dalam Wahana Tri Tunggal (WTT) dan menolak pembangunan bandara baru, kembali mendesak pemerintah untuk menghentikan proyek yang diperkirakan akan menelan dana sekitar Rp 6 Triliun tersebut.

LBH Yogyakarta menganggap, selain akan menyingkirkan lahan pertanian subur di Kecamatan Temon, Bandara baru juga dibangun di atas ruang yang rawan sekali dengan bahaya tsunami. Anggapan itu, menurut Direktur LBH Yogyakarta, Hamzal Wahyudin, didasarkan pada analisa dari sejumlah pakar yang telah dipublikasikan melalui media massa nasional, baru-baru ini.

Pihaknya menyebutkan, pernyataan dari Kepala Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Eko Yulianto, menemukan bahwa deposit tsunami di dekat bakal lokasi bandar udara baru tersebut. Deposit tsunami itu diperkirakan berusia 300 tahun, atau seumuran jejak pantai selatan Banten dan Jawa Barat. Potensi gempa di kawasan ini, berdasarkan sebaran deposit tsunaminya, bisa di atas M9.

Tak hanya itu, Hamzal juga menambahkan pernyataan dari Widjo Kongko, peneliti Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) UGM yang juga sempat memprediksikan, jika suatu saat terjadi lagi tsunami seperti di Pantai Pangandaran dengan kekuatan kegempaan magnitude lebih tinggi sedikit saja, maka bandara baru itu akan terkena mulai bagian apron, terminal hingga runway-nya

“Pada beberapa kesempatan, termasuk dalam materi gugatan terhadap Ijin Penetapan Lokasi (IPL) bandara yang diterbitkan Gubernur DIY yang kami ajukan bersama para petani WTT, IPL harus batal dan dicabut lantaran salah satunya tidak sesuai dengan peruntukan ruangnya. Dalil ini pun juga diamini oleh hakim pemeriksa perkara yang membatalkan IPL tersebut,” tegas Hamzal dalam siaran persnya, Jumat (28/7/2017).

Posisi kerawanan lokasi bandara baru di Kulon Progo, imbuh Hamzal, sesungguhnya juga sudah ditetapkan dalam dokumen perundang-undangan tentang rencana tata ruang wilayah. Dalam Perpres Nomor 28 tahun 2012 tentang RTR Pulau Jawa-Bali, Kabupaten Kulon Progo menjadi salah satu wilayah yang ditetapkan sebagai zona rawan bencana alam geologi (pasal 46 ayat 9 huruf d).

Sedangkan dalam Perda DIY Nomor 2 tahun 2010 tentang RTRW DIY, sepanjang pantai di Kabupaten Kulon Progo telah ditetapkan sebagai kawasan rawan tsunami (Pasal 51 huruf g). Bahkan Perda Kabupaten Kulon Progo Nomor 1 Tahun 2012 Tentang RTRW Kabupaten Kulon Progo pun lebih detail menyatakan bahwa kawasan rawan tsunami salah satunya meliputi Kecamatan Temon (pasal 39 ayat 7 huruf a).

Menanggapi desakan penghentian tersebut Pimpinan Proyek Pembangunan Bandar Udara Internasional Yogyakarta (Pimpro NYIA), R. Sujiastono menyatakan, pihaknya telah menyerahkan kajian tentang lingkungan itu kepada ahlinya.

“Tugas kami hanya melaksanakan pembangunan sesuai rencana dan sesuai juga dengan penugasan dari pemerintah,” tegas Sujiastono saat dihubungi kabarkota.com.

Sementara dihubungi terpisah Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) DIY, I Nyoman Sukanta mengaku dilibatkan oleh PT Angkasa Pura 1 (AP 1) dalam melakukan kajian terkait potensi gempa dan tsunami di lokasi pembangunan bandara Kulon Progo. Pihaknya menjelaskan, pada dasarnya, pantai selatan Jawa memang merupakan wilayah yang berpotensi tsunami. Hanya saja, hal itu tak bisa dijadikan alasan untuk tidak melakukan pembangunan, seperti pembangunan bandara NYIA.

“Dengan mengetahui seberapa besar potensi bahayanya, maka dibuat desain pembangunan bandara yang dapat meminimalisir potensi bencana,” ungkap Nyoman.

Desain yang dimaksud itu, kata Nyoman, selanjutnya diserahkan oleh tim ahli atau konsultan perencana yang direkrut oleh PT AP 1.

“Yang perlu dihindari itu adalah bangunan yang persis berada di atas patahan atau sesar aktif. Caranya, lokasi bangunan digeser menjauhi patahan atau sesar aktif,” tegasnya. (Ed-03)

SUTRIYATI

Kemarau Tiba, Ancaman Kekeringan Perlu Antisipasi Dini

Ilustrasi: Peta musim kemarau di DIY (sutriyati/kabarkota.com)

SLEMAN (kabarkota.com) – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi, pertengahan bulan Mei ini, wilayah DIY telah memasuki musim kamarau. Salah satu ancaman bencana yang biasanya mengiringi musim ini adalah kekeringan.

Meski Kepala Stasiun Klimatologi BMKG DIY, Agus Sudaryatno menprediksi bahwa musim kemarau tahun ini relatif normal, namun ancaman bencana kekeringan tidak bisa disepelekan. Terutama di wilayah-wilayah yang selama ini merasakan dampak buruknya secara langsung, seperti di Gunung Kidul.

Direktur Pusat Penelitian Penanggulangan Bencana UPN Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno berpendapat bahwa upaya yang seharusnya dilakukan untuk menjawab permasalahan bencana tersebut, tidak sekedar dengan droping air saat kekeringan terjadi, tetapi juga bagaimana merencanakan untuk mengurangi kekeringan di masa mendatang.

Menurut Eko, semestinya konsep pengelolaan kekeringan yang diterapkan adalah dengan ekohidrolika yang baik. Artinya, droping air tetap dilakukan saat kekeringan terjadi. Tapi di musim kemarau juga penerapan sistem tersebut dimulai.

“Pertanyaannya, apakah penangkapan air hujan sebanyak-banyaknya sudah dilakukan? Apakah penyerapan air hujan sebanyak-banyaknya sudah dilakukan? dan apakah penyimpanan air untuk selama-lamanya juga sudah dilakukan? Memanfaatkan air sebaik-baiknya, dan mengalirkan air seperlunya?” kata Eko.

Penangkapan dan penyimpanan air hujan menurutnya, bisa dilakukan dengan pembangunan embung. Penyerapan air hujan dengan biopori. Deliniasi konservasi hutan juga perlu dilakukan saat musim kemarau.

“Desain distribusi air yang baik ya harus dilakukan sekarang (musim kemarau),” tegasnya.

Jangan sampai, pinta Eko, saat kemarau hanya disibukkan dengan droping air dan menambah kedalaman sumur saja. Sebab, itu hanya akan menyelesaikan masalah secara sementara.

Namun, yang terpenting adalah penyelesaian berdasarkan akar masalahnya, sehingga diperlukan teknologi tepat guna yang perlu difasilitasi oleh pemerintah. (Rep-03/Ed-03)

Bandara Baru Kulon Progo dan Potensi Bencana Alam

Ilustrasi (airport.id)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Penolakan terhadap rencana pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulon Progo, DIY memang bukanlah hal baru.

Adalah warga terdampak yang tergabung dalam Wahana Tri Tunggal (WTT) yang secara konsisten terus menyuarakan penolakan mereka atas rencana pembangunan mega proyek itu, karena dianggap akan merampas lahan dan mata pencarian mereka sebagai petani yang sudah terbukti menghasilkan produk pangan. Sebagai contoh, lahan pertanian produktif di Desa Palihan, Desa Glagah, Desa Jangkaran, Desa Sindutan, dan Desa Kebon Rejo di Kecamatan Temon mampu menghasilkan ratusan ton buah-buahan, dan sayur mayur per hektarnya.

Tak hanya lahan pertanian yang menjadi alasan penolakan warga, tetapi juga pertimbangan potensi bencana tsunami yang bisa saja terjadi setiap saat, mengingat lokasinya berdekatan dengan pesisir pantai selatan.

Gerakan Solidaritas Tolak Bandara (Gestob) NYIA Kulon Progo yang didalamnya termasuk Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta khawatir jika pembangunan tersebut akan mempertinggi resiko kerawanan bencana tsunami di sana.

“Dari aspek tata ruang, di sana merupakan kawasan rawan bencana, sehingga rencana pembangunan bandara baru di Kulon Progo justru mengabaikan prinsip-prinsip rawan bencana,” kata Direktur Walhi Yogyakarta, Halik Sandera, di kantor LBH Yogyakarta, Kamis (26/1/2017).

Namun, benarkah kawasan yang akan dijadikan sebagai bandara NYIA itu beresiko besar memicu kerawanan bencana tsunami?

Kepala Badan Meteorologo, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) DIY, I Nyoman Sukanta menjelaskan bahwa pada dasarnya, semua pantai selatan wilayah DIY memang berpotensi tsunami. Sebab, pantainya berhadapan langsung dengan sumber-sumber gempa yang berpotensi menimbulkan tsunami.

“Tingkat resikonya bisa dilihat apakah pantainya landai terhadap daratan, atau bentuk pantainya mengerucut atau daratannya merupakan dataran tinggi. Yang paling aman terhadap tsunami adalah daerah pantainya merupakan dataran tinggi, dan yang paling beresiko adalah pantainya bentuknya mengerucut” papar Nyoman saat dihubungi kabarkota.com.

Sementara untuk pantai Glagah dan pantai Congot yang notabene berdekatan dengan lokasi pembangunan bandara baru, menurut Nyoman termasuk pantai yang cenderung lurus.

Meski begitu, pihaknya menambahkan, untuk mengetahui secara jelas terkait tingkat keamanannya, maka ada sejumlah faktor yang perlu dilihat. Diantaranya, jarak bandara dari pantai, Ketinggian atau topografi lokasi bandara dari pantai, desain bandara yang dibuat, serta besarnya kekuatan gempa yang memicu tsunami. (Rep-03/Ed-03)

Di Balik Bencana Banjir yang Terus Berulang di Yogya

Ilustrasi (dok. istimewa)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Intensitas hujan yang tinggi di wilayah DIY, khususnya di kota Yogyakarta akhir-akhir ini, menimbulkan bencana banjir di sejumlah titik.

Berdasarkan data dari Pusat Pengendalian dan Operasional Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Pusdalops BPBD) DIY, saat terjadi hujan pada 24 Januari 2017 misalnya, tercatat ada 17 titik luapan banjir di Kota Yogyakarta.

Bencana banjir yang terjadi di sejumlah wilayah tersebut memang bukan persoalan baru. Namun hampir selalu terjadi di saat musim penghujan tiba.

Menyikapi persoalan banjir yang terus berulang di wilayah kota Yogyakarta, Komandan Tim Reaksi Cepat (TRC) BPBD DIY, Pristiawan mengatakan, persoalan tersebut bukan semata karena curah hujan yang tinggi, melainkan juga ada persoalan infrastruktur, seperti saluran drainase yang tidak memadahi, serta tata ruang kota yang terkesan mengabaikan kelestarian lingkungan di sekitar bantaran sungai.

Pihaknya mencontohkan, penyempitan aliran sungai yang ekstrim di sekitar jalan Urip Sumoharjo Yogyakarta akibat padatnya pemukiman, pembangunan hotel, dan toko-toko modern

“Berdasarkan survei kami akhir tahun kemarin (2016) memang ada beberapa titik tapi kalau kota yang paling krusial di situ,” kata Pristiawan di kantornya, Rabu (25/1/2017).

Pristiawan juga mengaku, sebenarnya BPBD DIY telah menyampaikan rekomendasi-rekomendasi ke Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengatasi berbagai persoalan kebencanaan. Namun karena kompleksnya persoalan, maka hingga kini upaya yang dilakukan Pemda belum terlihat optimal.

Karenanya, kata Pristiawan, kebijakan pemerintah untuk revitalisasi sungai dan reinstrukturisasi sistem drainase perlu segera dilakukan, selain langkah mitigasi bencana oleh masyarakat.

Sementara Kepala BMKG DIY, I Nyoman Sukanta memprediksi, dalam seminggu ke depan, curah hujan di DIY masih tinggi, sehingga pihaknya mengimbau agar Pemda meningkatkan kesiap-siagaan dalam mengantisipasi bencana alam, termasuk di kota Yogyakarta. (Rep-03/Ed-03)

DIY sering Diguncang Gempa, Begini Penjelasan BMKG

Ilustrasi (suara.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Akhir-akhir ini, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan sekitarnya sering diguncang gempa tektonik yang meskipun magnitudenya kecil namun dirasakan oleh sebagian masyarakat sehingga menimbulkan kepanikan.

Sekitar tiga bulan terakhir saja, yakni bulan November 2016 hingga 15 Januari 2017, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) DIY telah merilis 14 kali gempa yang berpusat di sekitar Bantul dan Gunung Kidul, dengan kekuatan antara 2,5 SR – 5,3 SR dan kedalaman mulai dari 6 km hingga 23 km.

Kepala BMKG DIY, Nyoman Sukanta menilai, seringnya gempa yang terjadi di wilayah DIY tersebut justru bagus sebagai pelepasan energi akibat patahan lokal yang terjadi karena aktifitas pergerakan lempeng di sesar Opak.

“Kalau gempanya kecil-kecil itu lebih bagus karena energinya sudah lepas, daripada tidak pernah terjadi gempa, tapi sekalinya gempa langsung besar. Itu yang bahaya,” jelas Nyoman saat dihubungi kabarkota.com, Minggu (15/1/2017).

Pihaknya mencontohkan sebagaimana yang terjadi di Pidie Jaya Aceh, 6 Desember 2016 lalu, yang menimbulkan kerusakan dan korban jiwa. “Gempa yang terjadi di Aceh Pidi ketika itu adalah akibat patahan lokal yang lama tidak aktif,” ungkapnya.

Menurutnya, pergerakan lempeng di pesisir selatan Jawa itu diperkirakan sekitar 71 mili meter per tahun. “Sebenarnya kecil tapi karena skalanya besar jadi pengaruhnya lumayan,” ujar Nyoman.

Pergerakan lempeng itu, lanjutnya, dipengaruhi oleh struktur bumi, yang inti luarnya berbentuk cairan sangat panas, dengan suhu 6 ribuan derajat celcius sehingga mengakibatkan mantel dan kerak bumi terus bergerak membentuk lempeng-lempeng. Kalau yang terjadi di laut namanya lempeng samudera, sedangkan di darat disebut lempeng benua.

Jadi, aktifitas di dalam perut bumi itu yang mengakibatkan lempeng juga ikut bergerak,” kata Nyoman.

Sementara, terkait pusat gempa, ia menambahkan, sejauh ini lebih banyak terjadi di laut ketimbang di darat. (Rep-03/Ed-03)

Beredar Isu bakal Terjadi Puncak Badai Yogya hingga 1 April 2016

Ilustrasi (dok. kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Pasca hujan deras dan angin kencang yang merobohkan pepohonan dan menimbulkan korban jiwa di wilayah Kota Yogyakarta, Rabu (30/3/2016) siang, beredar isu akan terjadi badai di wilayah kota Yogyakarta hingga 1 April 2016 besok.

Penyebar isu yang mengatasnamakan Lembaga Pengabdian dan Pengkajian Masyarakat dan Lingkungan Merapi Rescue Community (Mitigation, Rescue and Conservation) tertanggal 30 Maret 2016 itu mengimbau agar masyarakat mewaspadai puncak badai sisi Selatan Jawa, pada Kamis – Jumat (31 Maret – 1 April) besok.

Namun, Komandan Tim Reaksi Cepat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (TRC BPBD) DIY, Pristiawan secara tegas membantah isu tersebut.

Menurutnya, berdasarkan informasi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) DIY, isu meresahkan tersebut tidak dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya.

“Isu badai yang akan melanda Jawa merupakan Hoax !!!” Kata Pristiawan saat dihubungi kabarkota.com, Kamis (31/3/2016).

Ia juga menjelaskan, kejadian angin kencang yang terjadi kemarin merupakan dampak dari munculnya pusat tekanan tekanan rendah/ low pressure area /LPA yang muncul disekitar perairan selat Bali.

Tekanan tersebut, lanjutnya, menyebabkan pertemuan massa udara/ lonvergensi yang mendukung pembentukan awan-awan hujan terutama di wilayah Bali.

Ditambahkan Pristiawan, total korban luka-luka akibat angin kencang di Kota Yogyakarta yang semula empat orang menjadi sembilan orang. Dari jumlah tersebut, empat orang dirawat di RS Hidayatullah, dan empat orang lainnya di RS Panti Rapih Yogyakarta.

“Satu orang korban lainnya sudah diperbolehkan pulang,” ungkapnya. (Rep-03/Ed-03)