Ilustrasi (airport.id)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulon Progo, DIY ditargetkan mulai beroperasi pada tahun 2019 mendatang. Karenanya, sejak peletakan batu pertama oleh Presiden RI, Joko Widodo pada 27 Januari 2017 lalu hingga kini pembangunan mega proyek tersebut terus digenjot.
Namun di sisi lain, masih ada pertanyaan besar dari sebagian pihak terkait dengan kelayakan lingkungannya, mengingat posisi bandara yang berlokasi di dekat pesisir pantai selatan DIY.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta yang selama ini memberikan pendampingan hukum bagi warga Kulon Progo yang tergabung dalam Wahana Tri Tunggal (WTT) dan menolak pembangunan bandara baru, kembali mendesak pemerintah untuk menghentikan proyek yang diperkirakan akan menelan dana sekitar Rp 6 Triliun tersebut.
LBH Yogyakarta menganggap, selain akan menyingkirkan lahan pertanian subur di Kecamatan Temon, Bandara baru juga dibangun di atas ruang yang rawan sekali dengan bahaya tsunami. Anggapan itu, menurut Direktur LBH Yogyakarta, Hamzal Wahyudin, didasarkan pada analisa dari sejumlah pakar yang telah dipublikasikan melalui media massa nasional, baru-baru ini.
Pihaknya menyebutkan, pernyataan dari Kepala Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Eko Yulianto, menemukan bahwa deposit tsunami di dekat bakal lokasi bandar udara baru tersebut. Deposit tsunami itu diperkirakan berusia 300 tahun, atau seumuran jejak pantai selatan Banten dan Jawa Barat. Potensi gempa di kawasan ini, berdasarkan sebaran deposit tsunaminya, bisa di atas M9.
Tak hanya itu, Hamzal juga menambahkan pernyataan dari Widjo Kongko, peneliti Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) UGM yang juga sempat memprediksikan, jika suatu saat terjadi lagi tsunami seperti di Pantai Pangandaran dengan kekuatan kegempaan magnitude lebih tinggi sedikit saja, maka bandara baru itu akan terkena mulai bagian apron, terminal hingga runway-nya
“Pada beberapa kesempatan, termasuk dalam materi gugatan terhadap Ijin Penetapan Lokasi (IPL) bandara yang diterbitkan Gubernur DIY yang kami ajukan bersama para petani WTT, IPL harus batal dan dicabut lantaran salah satunya tidak sesuai dengan peruntukan ruangnya. Dalil ini pun juga diamini oleh hakim pemeriksa perkara yang membatalkan IPL tersebut,” tegas Hamzal dalam siaran persnya, Jumat (28/7/2017).
Posisi kerawanan lokasi bandara baru di Kulon Progo, imbuh Hamzal, sesungguhnya juga sudah ditetapkan dalam dokumen perundang-undangan tentang rencana tata ruang wilayah. Dalam Perpres Nomor 28 tahun 2012 tentang RTR Pulau Jawa-Bali, Kabupaten Kulon Progo menjadi salah satu wilayah yang ditetapkan sebagai zona rawan bencana alam geologi (pasal 46 ayat 9 huruf d).
Sedangkan dalam Perda DIY Nomor 2 tahun 2010 tentang RTRW DIY, sepanjang pantai di Kabupaten Kulon Progo telah ditetapkan sebagai kawasan rawan tsunami (Pasal 51 huruf g). Bahkan Perda Kabupaten Kulon Progo Nomor 1 Tahun 2012 Tentang RTRW Kabupaten Kulon Progo pun lebih detail menyatakan bahwa kawasan rawan tsunami salah satunya meliputi Kecamatan Temon (pasal 39 ayat 7 huruf a).
Menanggapi desakan penghentian tersebut Pimpinan Proyek Pembangunan Bandar Udara Internasional Yogyakarta (Pimpro NYIA), R. Sujiastono menyatakan, pihaknya telah menyerahkan kajian tentang lingkungan itu kepada ahlinya.
“Tugas kami hanya melaksanakan pembangunan sesuai rencana dan sesuai juga dengan penugasan dari pemerintah,” tegas Sujiastono saat dihubungi kabarkota.com.
Sementara dihubungi terpisah Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) DIY, I Nyoman Sukanta mengaku dilibatkan oleh PT Angkasa Pura 1 (AP 1) dalam melakukan kajian terkait potensi gempa dan tsunami di lokasi pembangunan bandara Kulon Progo. Pihaknya menjelaskan, pada dasarnya, pantai selatan Jawa memang merupakan wilayah yang berpotensi tsunami. Hanya saja, hal itu tak bisa dijadikan alasan untuk tidak melakukan pembangunan, seperti pembangunan bandara NYIA.
“Dengan mengetahui seberapa besar potensi bahayanya, maka dibuat desain pembangunan bandara yang dapat meminimalisir potensi bencana,” ungkap Nyoman.
Desain yang dimaksud itu, kata Nyoman, selanjutnya diserahkan oleh tim ahli atau konsultan perencana yang direkrut oleh PT AP 1.
“Yang perlu dihindari itu adalah bangunan yang persis berada di atas patahan atau sesar aktif. Caranya, lokasi bangunan digeser menjauhi patahan atau sesar aktif,” tegasnya. (Ed-03)
SUTRIYATI