SLEMAN (kabarkota.com)- Potensi korupsi terjadi pada bantuan sosial (bansos) dan dana hibah yang dikeluarkan pemerintah. Wujudnya bisa berupa proposal fiktif, dan diperparah oleh tidak adanya evaluasi dalam pemberian bantuan dana tersebut.
Menurut Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum (Pukat FH) UGM, Hifdzil Alim pola korupsi Bansos ini melibatkan oknum aktor internal eksekutif dan legislatif sebagai aktor yang lebih dominan.
"Untuk menghindari penyimpangan tersebut, semua anggota legislatif tidak diperkenankan mengajukan permohonan untuk Bansos maupun dana hibah," jelas Hifdzil saat diskusi di Sleman, Rabu (16/4).
Jika ingin mengajukan bantuan sosial maupun dana hibah, menurut dia, anggota legislatif harus keluar atau tidak bertugas lagi di dewan.
Hifdzil megemukakan, untuk mencegah tindak korupsi di bansos, bisa dilakukan dengan cara perencanaan yang maksimal, pengawasan internal, cek lapangan serta pemberdayaan masyarakat.
Kepala Dinas Pajak, Pengelolaan Keuangan, dan Aset Daerah (DPPKAD) DIY, Bambang Wisnu membenarkan hal tersebut. Menurutnya, bansos dan dana hibah dari pemerintah rawan dikorupsi. Jika tidak diawasi secara ketat, dikhawatirkan tingkat korupsinya semakin meningkat.
Diakui Bambang, ada perbedaan mendasar antara bantuan sosial dan dana hibah. Jika bantuan sosial merupakan pemberian bantuan dari pemerintah untuk masyarakat yang kurang mampu, maka dana hibah diperuntukkan kepada seluruh masyarakat.
"Hanya saja dana hibah ini tidak boleh diberikan dalam bentuk uang, melainkan barang. Kecuali hibah untuk gubernur bisa berupa uang, yang selanjutnya akan diserahkan ke Bendahara Umum Daerah," jelas Bambang. (jid)
CHRISTIAN YANUAR