Inovator pupuk organik Top D’WE, Robaeli Ndruru (sutriyati/kabarkota.com)
SLEMAN (kabarkota.com) – Gagal panen akibat serangan hama merupakan salah satu permasalahan yang seringkali dihadapi masyarakat, baik yang bertani maupun berkebun. Penggunaan pupuk kimia yang diharapkan bisa menjadi solusi atas permasalahan tersebut, tak selalu bisa diandalkan.
Penggunaan pupuk kimia yang berlebihan, selain tidak menyehatkan tanaman, juga cenderung memunculkan permasalahan baru, yakni kerusakan lahan maupun kebun karena terkontaminasi zat-zat kimia berbahaya sehingga membunuh mikroba yang seharusnya menyuburkan tanah.
Hal itu pula yang pernah dialami salah satu anggota Masyarakat Pertanian Organik Indonesia (Maporina) Yogyakarta, Robaeli Ndruru atau akrab disapa Robi, yang sejak lama membudidayakan berbagai macam tanaman buah dan sayuran. Tak hanya Robi, karena petani-petani lain juga rata-rata menghadapi permasalahan yang sama.
Kondisi tersebut memicu Robi berpikir keras untuk menciptakan satu produk pupuk yang bisa mengatasi persoalan-persoalan hama itu, dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan sekitar. Pria asal Kulon Progo ini sebenarnya bukan berlatar-belakang Sarjana Pertanian, melainkan Alumnus jurusan Bahasa Inggris di salah satu Universitas swasta di Yogyakarta. Namun berbekal tekad Robi yang kuat didukung dengan jaringan Maporina yang didalamnya banyak anggota dari profesor di bidang pertanian, akhirnya pada tahun 2014 lalu, ia berhasil menemukan formula baru pupuk pertanian organik, yang ia ramu dari berbagai temuan dari sejumlah profesor kenalannya.
Awalnya, bapak dua anak ini menamai produknya dengan “Pupuk D’WE” yang maksudnya pupuk buatan sendiri. Atas saran dari konsumen yang sudah membuktikan keunggulan pupuk tersebut, maka pada tahun 2016, mengganti brand-nya menjadi pupuk organik “Top D’WE”, dan dipakai hingga sekarang.
“Selama ini kan pupuk organik itu banyak kelemahan. Kenapa? Karena belum banyak orang yang memahami bagaimana formula yang tepat dan dibutuhkan oleh tanah. Sementara, para profesor punya hasil penelitianya sendiri-sendiri,” kata Robi kepada kabarkota.com, saat ditemui di stand Pameran Maporina, HUT Yayasan Bhakti Yogyakarta ke-27, di Pakem, Sleman, Sabtu (4/8/2018).
Robi mengklaim, berkat penggunaan pupuk temuannya, kini hasil pertanian dan perkebunan miliknya dan para konsumen lainnya memberikan hasil yang lebih optimal, hingga 2-3 kali lipat. Itu karena pupuk mengandung unsur pupuk makro dan mikro, mikrobia penyubur tanah, dan penghalau hama penyakit. Termasuk, Zat Pengatur Tumbuh Alami (ZPTA).
Untuk penjualan produknya, dari yang awalnya sebatas pada para petani rekanannya, kini sudah menjangkau sejumlah daerah di Indonesia, dengan harga Rp 35 ribu – Rp 185 ribu per paket. Ke depan, Koordinator Maporina Wilayah DIY ini berharap, ada revolusi pertanian di Indonesia, dengan dukungan dari pemerintah, sehingga pertanian organik bisa merajai pasar dan pada akhirnya berdampak positif bagi kesejahteraan petani dan kesehatan masyarakat sebagai konsumen produk pertanian maupun perkebunan yang lebih sehat.
Maporina sendiri merupakan Organisasi Masyarakat (ORMAs) yang selama ini konsen mengedukasi masyarakat di bidang pertanian organik, melalui pelatihan-pelatihan dan konsultasi di berbagai daerah di Indonesia.
Ketua Bidang Pelatihan dan Edukasi Maporina Indonesia, Fajar Wiryono menjelaskan, ormas yang mewadahi anggota dari berbagai latar belakang profesi tersebut sengaja dibentuk, dengan salah satu tujuannya untuk melestarikan dan memulihkan sifat fisik, kimia dan biologi tanah dan lingkungan, melalui sistem pertanian organik.Terlebih sekarang pasar petani organik sudah jelas, hanya saja produksinya yang masih terbatas.
“Terbatasnya produksi itu karena untuk membalikkan petani biasa menjadi petani organik itu masih banyak kendala, termasuk kurangnya dukungan dari pemerintah,” anggap Fajar. (Adv)