Aksi SPF UGM bersama Adaksi Wilayah Jateng – DIY di Balairung UGM, pada Rabu (12/2/2025). (dok. kabarkota.com)
Dosen-dosen kalian itu, tidak se-kaya apa yang kalian lihat
Dosen kalian itu, tidak se-sejahtera yang kalian lihat
Mohon maaf, kita kalah sama teman-teman yang di pabrik sana…
maka dari itu, tuntutan kita sama hari ini, Tukin for all.– Alfarisi Akbar, Koordinator Adaksi wilayah Jateng-DIY –
SLEMAN (kabarkota.com) – Ratusan orang dari Serikat Pekerja Fisipol (SPF) UGM, Aliansi Dosen ASN Kemendiktisaintek Seluruh Indonesia (Adaksi) dan Dewan Mahasiswa (Dema) bergerak bersama dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM ke Balairung dengan long march, sembari membentangkan dua spanduk besar di barisan depan dan disusul dengan barisan pembawa poster-poster kecil di belakangnya.
Pada Rabu (12/2/2025) siang itu, mereka berunjuk rasa untuk menuntut pencairan Tunjangan Kinerja (Tukin) yang belum dibayarkan oleh Kemendikti Saintek, sejak 2020 lalu hingga sekarang itu, tanpa diskriminasi.
Dalam pembukaan orasinya, Amalinda Savirani selaku Ketua Umum (Ketum) SPF UGM menekankan tentang pentingnya solidaritas dari berbagai pihak guna memperjuangkan hak mereka tersebut supaya isu tersebut tidak mudah dialihkan dengan isu lain, seperti Deddy Corbuzier yang baru-baru ini dilantik menjadi Staf Khusus Menteri Pertahanan (Stafsus Menhan).
“Kita harus terus merawat gerakan, merawat semangat Tukin for all. Setuju?” pekik Amanda yang disambut seruan dari massa aksi, “Setuju!”

Menurut Koordinator Aliansi Dosen ASN Kemendiktisaintek (Adaksi) wilayah Jateng-DIY, Alfarisi Akbar Efendi, Tukin for all ini berarti bahwa Adaksi ini agar tidak ada klasterisasi pendidikan atau kampus, baik Satker BLU maupun PTNBH.
“Kita semua sama di sini. Masa kampus dikotak-kotakkan?” ucap Alfarisi.
Hal senada juga disuarakan oleh Suci Lestari dari SPF UGM yang menerangkan bahwa berdasarkan pasal 79 dan 80 dalam Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), pembayaran Tukin ASN termasuk untuk dosen. Hal tersebut juga diatur secara teknis dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 49 Tahun 2020 dan Kepmendikbudristek 447/P/2024.
Namun, pihaknya menyayangkan, karena hingga kini, hak Tukin untuk dosen ASN tak kunjung ditunaikan. Saat ini, Tukin hanya diberikan kepada dosen ASN di satuan kerja (Satker) dan Badan Layanan Umum (BLU) non-remunerasi. Sedangkan dosen Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH) tidak mendapatkan hak tersebut, dengan dalih mereka tdak mampu membiayai Tukin dosen.
“Hal ini mencerminkan ketidakadilan bagi tenaga pendidik,” tegasnya.
Meskipun Dosen PTNBH menerima Insentif Berbasis Kinerja (IBK), namun Suci menyatakan, setiap PTNBH memiliki kemampuan finansial yang berbeda-beda dalam membayar remunerasi dosen sehingga cenderung memunculkan ketimpangan antar-kampus. “Akibatnya, kampus harus mencari cara menutupi kebutuhan remunerasi dosen, termasuk dengan kenaikan UKT, dan menghasilkan tingginya biaya kuliah di PTN,” sesal Suci.

Untuk itu, SPF UGM) yang terdiri dari pekerja kampus, seperti Dosen ASN, Dosen Tetap Non-ASN, Tenaga Kependidikan, maupun pekerja kampus berstatus kontrak dan honorer menyerukan agar civitas akademika bersatu memperjuangkan kebijakan yang lebih adil.
“Kami menuntut pencarian Tukin untuk semua dosen ASN tanpa diskriminasi, termasuk dosen PTNBH,” tegas Suci dalam pernyataan sikapnya.
Selain itu, pihaknya juga menolak penyalahgunaan narasi pengabdian. Dosen memang mengabdi, tetapi mengabdi kepada republik, bukan kepada pejabat. “Narasi pengabdian yang digunakan untuk menutupi ketidakadilan ini harus dilawan!”
Sebab, kata dia, ketidakadilan itu mencerminkan inkonsistensi pemerintah dalam menghargai kontribusi strategis dosen ASN Kemdiktisaintek terhadap pembangunan sumber daya manusia Indonesia. (Rep-01)