Logo UII (dok. uii)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Sivitas Akademika Universitas Islam Indonesia (UII) menganggap rencana pembentukan Tim Pemburu Koruptor bukan hal yang urgen untuk dilakukan.
Rektor UII, Fathul Wahid mengatakan, selain tak ada urgensinya, rencana tersebut juga tak memiliki relevansi, sekaligus tak tepat diterapkan dalam upaya pemberantasan korupsi.
“Kami menolak rencana pembentukan Tim Pemburu Koruptor karena akan mengakibatkan tumpang tindih kewenangan antar aparat penegak hukum, pembengkakan anggaran, serta meluasnya ketidakpercayaan publik atau public distrust,” kata Wahid dalam siaran persnya, Jumat (31/7/2020).
Pihaknya menganggap, wacana yang muncul itu tak didasarkan pada pembacaan permasalahan yang tepat. Problem yang dihadapi oleh Indonesia dalam pemberantasan korupsi bukan karena ketiadaan lembaga khusus untuk memburu koruptor, melainkan komitmen penyelenggara negara untuk mengoptimalkan kinerja lembaga penegak hukum yang ada.
Untuk itu pihaknya mendesak agar pemerintah segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja dan profesionalitas penyelenggara negara dalam lingkaran sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system).
“Sivitas Akademika UII meminta kepada Pemerintah untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang menyatakan pemberlakuan kembali Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 sebelum perubahan kedua dalam rangka mengembalikan KPK sebagai lembaga negara yang independen,” tegasnya.
Selain itu, pihaknya juga mendorong agar undang-undang yang mengatur mengenai perampasan aset pelaku tindak pidana korupsi dalam rangka memunculkan efek jera segera dibuat.
Sivitas akademika UII, lanjut Wahid, mengecam segala perilaku elit yang menumbuh-suburkan praktik politik oligarki dan dinasti politik dalam rangka terwujudnya Indonesia yang demokratis secara substansial, dan bukan sekedar prosedural.
Kepala Pusat Studi Hukum (PSH) UII, Anang Zubaidy menambahkan, pada aspek budaya hukum (legal culture), pihaknya menemukan problem serius terkait praktik oligarkhi dan dinasti politik ini.
“Oligarkhi politik nampak dari fakta ketidakmampuan partai politik di DPR dalam melakukan pengawasan yang optimal karena hampir seluruhnya menjadi bagian dari kekuasaan,” sesalnya.
Sementara dinasti politik, sebut Anang, sangat terlihat dalam beberapa pencalonan pejabat, seperti kepala daerah yang jelas memiliki hubungan keluarga dengan elit, baik di pusat maupun di daerah.
“Kami berharap kepada masyarakat sipil serta dunia kampus untuk terus melakukan pengawasan terhadap kinerja penyelenggara negara, utamanya aparat penegak hukum dalam rangka mewujudkan Indonesia bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme,” pintanya.
Sebelumnya,Pemerintah melalui Menko Polhukam merespon kasus yang menjerat Joko Tjandra, dengan mewacanakan pembentukan kembali Tim Pemburu Koruptor sebagaimana yang pernah dibentuk pada era SBY dan menulai polemik, pada 2004 lalu. Lantaran, kinerjanya tak sesuai harapan. (Ed-01)