UMP/UMK DIY Tahun 2022: antara Keberatan Pengusaha dan Penolakan Buruh

Gubernur DIY, Sultan Hamengku Buwono X saat mengumumkan penetapan UMP/UMK DIY Tahun 2022 di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, Jumat (19/11/2021). (dok. kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Gubernur DIY, Sultan Hamengku Buwono X menetapkan Upah Minimum Provinsi dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMP/UMK) Tahun 2022, di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, Jumat (19/11/2021).

Bacaan Lainnya

Sultan menjelaskan, penetapan UMP/UMK Tahun 2022 ini merupakan bagian dari program strategis nasional yang berpedoman pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, dan Surat Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor B-M/383/HI.01.00/XI/2021 tentang Penyampaian Data Perekonomian dan Ketenagakerjaan dalam Penetapan Upah Minimum Tahun 2022.

Berdasarkan tiga hal tersebut maka, Pemda DIY menetapkan UMP DIY untuk tahun 2022 sebesar Rp 1.840.915,53,-. Jumlah tersebut mengalami kenaikan Rp 75.915,53 (4,30 persen), jika dibandingkan UMP Tahun 2021. Sedangkan untuk UMK mengalami kenaikan antara 4 – 7 persen. Pertama, Kota Yogyakarta sebesar Rp. 2.153.970 atau naik Rp. 84.440 (4,08 persen). Kedua, Kabupaten Sleman naik Rp 97.500 (5.12 persen) menjadi Rp 2.001.000. Ketiga, Kabupaten Bantul naik Rp 74.388 (4.04 persen) menjadi sebesar Rp. 1.916.848. Keempat, Kabupaten Kulon Progo senilai Rp. 1.904.275 atau naik Rp. 99.275 (5,50 persen). Kelima, Kabupaten Gunung Kidul mengalami kenaikan tertinggi sebesar Rp 130.000 (7.34 persen) menjadi Rp 1.900.000.

Sesuai dengan PP No. 36/2021 tentang Pengupahan, kata Sultan, maka UMP/UMK dihitung berdasarkan formula perhitungan upah minimum, menggunakan data Badan Pusat Statistik meliputi: pertumbuhan ekonomi atau inflasi, rata-rata konsumsi per kapita, banyaknya anggota rumah tangga, dan banyaknya anggota rumah tangga yang bekerja.

Sultan juga menegaskan bahwa dalam Surat Keputusan (SK) Gubernur DIY tentang Penetapan UMP/UMK tahun 2022 ini ada klausul yang perlu diperhatikan oleh para pengusaha.

“Tidak boleh ditangguhkan, dan tidak boleh membayar di bawah UMK,” tegas Sultan.

Dengan adanya kenaikan UMP/UMK yang akan berlaku mulai 1 Januari 2022 mendatang itu, maka Sultan juga berharap agar para buruh maupun pekerja dapat meningkatkan produktivitas dan kualifikasinya supaya lebih terampil, dan bekerja lebih keras.

“Kalau kenaikan upah tidak diimbangi dengan kenaikan kualifikasi maka orang akan investasi juga menjadi malas,” ucap Sultan.

Naik tak Signifikan, KSPSI DIY Tolak UMP/UMK DIY 2022

Di lain pihak, Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) DIY, Irsad Ade Irawan mengaku kecewa dengan penetapan UMP/UMK DIY tahun 2022 karena kenaikannya tidak signifikan. Mengingat, prosentase kenaikan UMP kurang dari 5 persen tidak akan mampu mengurangi angka kemiskinan secara signifikan. Sekaligus mempersempit jurang ketimpangan ekonomi di DIY. Termasuk menyulitkan buruh untuk membeli rumah.

“Kami Menolak UMP DIY 2022 yang ditetapkan oleh Gubernur DIY,” kata Irsad dalam siaran pers yang diterima kabarkota.com, Jumat (19/11/2021).

Irsad menilai, kenaikan upah yang terhitung masih kecil tersebut merupakan bentuk ketidakpekaan terhadap kesulitan dan himpitan ekonomi buruh di tengah pandemi Covid-19. Pihaknya juga menyesalkan bahwa status Keistimewaan DIY pada kenyataannya tidak cukup membuat sistem pengupahan di daerah yang membawa buruh dan keluarganya ke dalam situasi kehidupan yang lebih layak.

“Penetapan UMP DIY 2022 adalah penetapan yang tidak demokratis, karena menghilangkan peran serikat buruh dalam proses penetapan upah. Ini lantaran penetapannya menggunakan rumus atau formula yang tak berbasis Survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL), melainkan mengacu pada angka-angka yang telah ditetapkan dalam statistis Badan Pusat Statistik (BPS).

“Kalau sudah cukup menggunakan rumus itu, maka sebaiknya Dewan Pengupahan dibubarkan karena secara anggaran akan boros, dan tidak jelas kerjanya, sebab hanya sekedar menghitung rumus yang dilakukan di bulan-bulan menjelang penetapan, misalnya bulan November,” ujarnya.

Suara Keberatan Pengusaha

Bagi para pengusaha di DIY, kenaikan UMP/UMK tahun 2022 cukup memberatkan terlebih dalam masa pemulihan ekonomi di tengah pandemi Covid-19. Meski demikian Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DIY, Wawan Harmawan menyatakan bahwa SK Gubernur DIY tersebut sudah menjadi keputusan sehingga harus dipatuhi.

Hanya saja pihaknya berharap agar pemerintah memberikan kelonggaran-kelonggaran bagi para pelaku usaha di agar tetap bisa bekerja sesuai dengan ketetapan. Pihaknya mencontohkan terkait rencana penetapan status Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 3 pada libur Natal dan Tahun Baru pada Desember mendatang. Wawan berpendapat bahwa semestinya informasi tersebut diumumkan jauh-jauh hari sehingga para pengusaha bisa melakuakn perencanaan untuk operasionalnya dengan baik.

Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DIY, Timothy Apriyanto yang berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi di DIY yang dihitung berdasarkan year to year (yoy) sebesar 4.61 persen itu tidak mencerminkan situasi riil tentang kondisi pengusaha di DIY.

“Para pengusaha di DIY mengalami keberatan dalam hal ekonomi karena supply and demand sources di masa pandemi Covid-19 masih berdampak sampai tahun 2021 ini,” kata Timothy kepada kabarkota.com.

Timothy yang juga masuk sebagai anggota Dewan Pengupahan DIY mengungkapkan, pihaknya sempat berdiskusi dengan beberapa asosiasi pengusaha dan meminta agar Gubernur mengambil diskresi dalam menghitung pertumbuhan ekonomi, bukan dengan metode yoy, melainkan pendekatan year to date (ytd). Meskipun pendekatan tersebut jarang dipakai, namun hasilnya lebih mendekati kondisi yang sebenarnya.

Menurutnya, jika petumbuhan ekonomi di DIY dihitung berdasarkan metode ytd, maka jumlah pertumbuhan ekonominya hanya sekitar 1.4 persen. Sedangkan inflasi di DIY 1.5 persen. Sementara dalam PP No. 36/2021, Pemda diberi kewenangan untuk memilih antara pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang akan digunakan sebagai dasar penghitungan UMP/UMK. Angka yang digunakan diambil yang lebih besar.

“Tapi kami tidak bisa memaksakan situasi itu karena Dewan Pengupahan pun juga sudah diikat sehingga memang kami merasakan tidak ada dinamika ruang diskusi dalam bidang pengupahan. Semuanya sudah diatur standar, harus menggunakan data dan rumus yang sudah dilampirkan dalam Surat Edaran sehingga tinggal memasukkan rumus itu saja,” sambungnya.

Lebih lanjut Timothy membenarkan jika mengacu pada Undang Undang Cipta Kerja, maka pembayaran UMP/UMK tidak boleh lagi ditangguhkan. Oleh karenanya, para pengusaha memang harus menaati keputusan tersebut. Namun, ke depan, pihaknya akan melakukan pengkajian kritis atas kasus yang terjadi di DIY yang besar kemungkinan menawarkan opsi revisi atas kebijakan pemerintah tersebut.

Kepala Disnakertrans DIY: Semangat PP No. 36/2021 untuk Mengurangi Disvarietas antarwilayah

Sementara Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans), Aria Nugrahadi berdalih bahwa UU Cipta Kerja menghilangkan penangguhan karena upah minimum sebagai jaring pengaman pengupahan yang itu sudah paling bawah.

“Kalau murni hasil perhitungan formula, di 2 kabupaten DIY itu justru di bawah UMP. sedangkan regulasi menyatakan UMK tidak diperkenankan di bawah UMP sehingga berdasarkan hasil regulasi bupati Gunung Kidul dan Kulon Progo itu menetapkan di atas UMP sehingga benar-benar UMP itu pemahamannya tidak lagi operasional untuk pengupahan. tetapi di kabupaten kota akhirnya UMK,” jelas Aria.

Selain itu, lanjut Aria, PP No. 36/2021 yang merupakan aturan turuan dari UU Cipta Kerja, semangatnya justru untuk mengurangi disvarietas (kesenjangan) antarwilayah, serta mewujudkan pengupahan yang berkeadilan. (Rep-01)

Pos terkait