Upah Minimum Naik tapi Buruh tak Sejahtera, Apa Masalahnya?

Ilustrasi (dok. kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Hampir setiap tahun, Pemerintah menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) maupun Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dengan salah satu harapannya bisa menjadi jaring pengaman sosial bagi para pekerja/buruh yang muaranya pada peningkatan kesejahteraan.

Bacaan Lainnya

Namun realitanya, kenaikan upah minimum tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan para pekerja/buruh, khususnya di DIY.

Salah seorang pekerja di DIY, Sumantri mengaku, pendapatan sekitar Rp 2 juta per bulan yang ia peroleh, hampir 75 persen habis untuk biaya makan dan transportasi.

“Saya tidak bisa menabung, karena sisa 25 persen itu untuk cadangan dana sosial atau pun membayar hutang,” ungkapnya kepada kabarkota.com, Kamis (12/11/2022).

Itu pun, kata Sumantri, tak jarang harus “nombok” untuk memenuhi kebutuhan hidup ia dan keluarganya. Apalagi, ada anak kecil sehingga banyak pengeluaran tak terduga.

Kondisi yang hampir sama juga dialami Ninda, salah satu buruh perempuan di DIY.

Ia menyampaikan, dari pendapatan sekitar Rp 2 juta per bulan, sebanyak Rp 1.9 juta untuk mencukupi kebutuhan dasar, utamanya biaya makan empat anggota keuarganya.

“Apalagi sekarang, harga-harga pada naik,” ucapnya.

Ninda berpendapat bahwa untuk bisa meningkatkan kesejahteraan kaum buruh, setidaknya upah minimum naik 50 persen sehingga ada pendapatan yang bisa disisihkan untuk tabungan.

UMP DIY 2023 Naik 7.65 persen

Sementara pada tahun 2022 ini, Pemerintah Daerah (Pemda) DIY, melalui Gubernur menetapkan UMP tahun 2023 sebesar Rp 1.981.780,39 atau naik 7.65 persen (Rp 140.866,86) dibandingkan tahun sebelumnya yang masih di angka Rp 1.840.915,53.

Pelaksana Harian Asisten Sekretaris Daerah DIY Bidang Pemerintahan dan Administrasi Umum, Beny Suharsono mengklaim bahwa penetapan UMP ini telah mempertimbangkan rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi, serta didasarkan pada Permenaker Nomor 18 tahun 2022 tentang Pengupahan.

Berdasarkan pasal 6 ayat (2) Permenaker Nomor 18 Tahun 2022, penyesuaian nilai Upah Minimum pada tahun 2023 dihitung menggunakan formula penghitungan Upah Minimum dengan mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.

MPBI DIY Tolak Kenaikan UMP 7.65 Persen

Sementara itu, Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY, dalam pernyataan sikapnya menolak kenaikan UMP 7.65 persen karena persentase kenaikan upah minimum yang kurang dari 10 persen tidak akan mampu mengurangi angka kemiskinan di DIY.

“Upah murah yang ditetapkan berulang-ulang selalu membawa buruh pada kehidupan yang tidak layak dari tahun ke tahun, karena upah minimum tidak mampu memenuhi Kebutuhan Hidup Layak (KHL),” sesal Juru Bicara MPBI DIY, Irsad Ade Irawan dalam pernyataan tertulisnya, 28 November 2022.

Pihaknya juga menganggap, kenaikan upah yang rendah itu merupakan bentuk ketidakpekaan terhadap kesulitan dan himpitan ekonomi buruh di tengah pandemi covid-19 dan ancaman resesi global.

Pelaku Usaha: Kami semakin Memutar Otak untuk Budgeting 2023

Lain halnya bagi pelaku usaha, kenaikan angka 7.65 persen cukup berat di tengah kondisi dunia usaha yang belum pasti, dari segi poltiik, keamanan, serta bayang-bayang resesi ekonomi tahun 2023. Khususnya bagi pelaku usaha bidang perhotelan dan restoran.

“Dengan kenaikan 7.65 persen itu, kami akan semakin memutar otak untuk budgeting tahun 2023…
Pengalaman pandemi lalu menjadi pembelajaran kami dalam bertahan melalui efisiensi di segala bidang,” ucap Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY, Deddy Pranowo Eryono kepada kabarkota.com, 30 November 2022.

Namun demikian, Deddy menyatakan, sebisa mungkin pihaknya akan menghindari terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), melalui strategi efesiensi biaya operasional hotel dan memaksimalkan pekerjaan dengan SDM yang ada.

Untuk itu, pihaknya berharap, adanya kebijakan pemerintah yang baik untuk menjaga situasi dan kondisi dunia usaha di DIY agar tetap kondusif.

Pakar Ekonomi: untuk Pengurangan Kemiskinan, Angka Psikologis Rp 2 juta

Pakar Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Ahmad Makruf berpendapat bahwa pada prinsipnya, kebijakan kenaikan upah mencoba mempertimbagkan kesejahteraan buruh dan kepentingan pengusaha.

Dari sisi kesejahteraan buruh, ada komponen-komponen penentuan UMP, mulai dari makanan hingga non makanan

“Kalau dilihat secara makro, kenaikan 7.65 persen ini sebenarnya sudah melampaui inflasi. Artinya, kenaikan upah ini lebih tinggi dari rata-rata harga barang,” paparnya.

Hanya persoalannya, kata dia, ada kenaikan harga barang secara khusus yang tidak senilai dengan inflasi yang kemungkinan itu digunakan oleh para buruh/pekerja.

“Kalau di tahun 2023 DIY mau mempercepat pengurangan kemiskinan, maka seharusnya kenaikan upah itu di angka psikologis minimal Rp 2 juta,” tegasnya.

Sebab, rasio kemiskinan DIY itu basisnya dari belanja. Indikator belanja ada garis kemiskinan/garis minimal belanja rata-rata. Makruf menganalogikan, jika garis kemiskinannya di atas Rp 500 ribu sementara buruh telah berkeluarga, maka kebutuhannya minimal Rp 2 juta agar tidak berada di garis kemiskinan.

Dorongan lainnya, lanjut Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UMY ini, dengan pendapatan yang naik di atas angka psikologis, maka otomatis juga akan diikuti kenaikan belanja yang berdampak pada indikator kemiskinan.

“Jika keluarga semakin banyak berbelanja, maka keluarga itu dianggap tidak miskin. Tapi tingkat belanjanya dekat dengan garis kemiskinan, maka dia kategori rentan miskin.” jelasnya.

Di sisi lain, kenaikan upah Rp 2 juta per bulan itu menurutnya tidak serta merta memberatkan pelaku UMKM. Terlebih, dalam UU Cipta kerja, ada kebijakan dispensasi bagi pelaku usaha yang memang belum mampu membayar upah sesuai ketentuan.

Selain itu, Makruf menilai perlunya mengembangkan ruang-ruang ekonomi dalam rumah tangga. Misalnya anggota keluarga buruh didorong untuk berwirausaha sehingga buruh mempunyai penghasilan tambahan yang bisa meningkatkan taraf kesejahteraan hidupnya.

Dinaskertrans DIY sebut Mayoritas lapangan kerja di sektor Informal

Itu sejalan dengan keterangan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) DIY, Aria Nugrahadi yang menyebut bahwa secara umum jenis lapangan usaha formal yang ada di DIY sekitar 46 persen, dan usaha informal 54 persen. Sedangkan jumlah perusahaan sekitar 6 ribu, baik sekala kecil, menengah, maupun perusahaan besar. (Rep-02)

Pos terkait