Warga Terdampak Penggusuran di Yogya Bersuara

Diskusi Lemahmu Udu Duwekmu: Mengurai Hak Milik Atas Tanah, Perspektif Warga DIY di UIN Sunan Kalijaga (20/9/2016)(Anisatul Umah/kabarkota.com)

SLEMAN (kabarkota.com) – Permasalahan agraria banyak terjadi di Yogyakarta, mulai dari megaproyek pembangunan bandara Kulon Progo, pertambangan pasir besi dan pabrik baja di Kulon Progo, penggusuran pemukiman warga di Parangkusumo, Penggusuran tambak udang di Parangkusumo, dll.

Bacaan Lainnya

Salah satu anggota Wahana Tri Tunggal (WTT) Kulon Progo, Wiji mengatakan sampai saat ini dan seterusnya akan tetap getol menolak pembangunan bandara. Menurutnya warga di Kulon Progo sudah makmur dan sejahtera dengan bertani, sehingga warga mempertanyakan kenapa petani sekarang digusur.

“Kami mengolah berpuluh-puluh tahun hingga menjadi subur. Apa negara ini adil?,” ungkapnya dalam diskusi Lemahmu Udu Duwekmu: Mengurai Hak Milik Atas Tanah, Perspektif Warga DIY di UIN Sunan Kalijaga (20/9/2016).

Tentang proses ganti rugi yang kini sedang berjalan, menurut Wiji, WTT tidak akan pernah mengikuti proses ini. Tindakan ini menjadi bentuk penolakan yang dilakukan WTT.

“Kami tidak akan mengikuti setiap tahapan dari pemerintah. Saat pematokan kami benturan dengan aparat,” tuturnya.

Salah satu anggota Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulon Progo, Tukijo dalam forum mengatakan
Kronologi dari rencana penggusuran di pasir besi Kulon Progo di awali tahun 2006. Warga menolak penambangan pasir besi dengan alasan untuk menjaga alam dan lingkungan agar tidak rusak. Selain itu warga merasa sudah sejahtera tanpa adanya penambangan pasir besi.

“Warga Kulon Progo menolak penambangan pasir besi Kulon Progo. Pemerintah tidak peduli lagi dengan masyarakat kecil, pedulinya dengan pemodal. Masyarakat di sana akan di rubah jadi gelandangan,” tandasnya.

Pembicara lain, salah satu warga terdampak penggusuran di Watu Kodok Paguyuban Kawulo Pesisir Mataram (PKPM) Gunungkidul, Rugiati menceritakan pernah mengalami ancaman penggusuran oleh pihak investor dengan membawa Kekancingan dari Panitikismo, sehingga warga diminta pindah tanpa relokasi dan ganti rugi.

“Warga tetap bertahan menempati lahan yang dulunya hutan belantara, lalu kita rubah jadi indah, sekarang akan dikuasai investor. Ini adalah hak masyarakat bukan investor,” tandasnya. (Rep-04/Ed-01)

Pos terkait