Ilustrasi (dok. kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Equinox pada dasarnya merupakan fenomena astronomi yang biasa terjadi setiap tahun, di mana matahari melintasi garis khatulistiwa dan secara periodik berlangsung dua kali dalam setahun, yaitu pada tanggal 21 Maret dan 23 September.
Ha tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Kepala Unit Analisa dan Prakiraan Cuaca Stasiun Klimatologi (Staklim) Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) DIY, Sigit Hadi Prakosa, saat dihubungi kabarkota.com, Selasa (26/3/2019).
Menurutnya, dengan posisi matahari yang berada tepat di garis Khatulistiwa (Lintang 0°) itu, maka suhu permukaan bumi yang berada di sekitar garis equator, seperti Indonesia menjadi meningkat, dengan rata-rata 30 – 35°C.
“Itu normal sehingga tidak perlu dikhawatirkan,” tegas Sigit.
Namun demikian, menurut Sigit, hal yang perlu diwaspadai justru dampak dari equinox yang berpengaruh terhadap cuaca ekstrem, khususnya di wilayah DIY.
Pihaknya menjelaskan, menghangatnya suhu permukaan air laut yang terkena pancaran sinar matahari menyebabkan banyaknya penguapan air laut. Jika kemudian terbawa hembusan angin ke darat, maka menimbulkan terbentuknya awan cumulus nimbus, utamanya Sleman dan Kulon Progo bagian utara.
“Karena ini memasuki musim pancaroba, maka potensi cuaca ekstren masih tinggi,” ungkapnya.
Untuk itu, BMKG DIY mengimbau agar masyarakat mewaspadai kemungkinan terjadinya hujan lebat disertai petir dan angin kencang hingga pertengahan April mendatang.
Masyarakat yang berada di wilayah rawan bencana, lanjut Sigit, juga harus mengantisipasi terjadinya, angin kencang, banjir dan tanah longsor, serta menghindari tempat-tempat berteduh yang tak aman. (Rep-01)