10 Hari Tak Kerja, Kelompok Penambang Progo Datangi DPRD DIY

Aksi KPP di halaman DPRD DIY, Kamis (3/3/2016) siang. (Januardi/kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) Puluhan massa yang tergabung dalam Kelompok Penambang Progo (KPP) Kamis (3/3/2016) siang mendatangi kantor DPRD DIY. Kedatangan mereka untuk menuntut kepastian tentang perizinan penambangan pasir di sepanjang sungai Progo.

Bacaan Lainnya

Koordinator KPP, Yulianto menjelaskan, sudah sepuluh hari para penambang pasir sungai Progo tidak bekerja, sejak Polda DIY melakukan razia besar-besaran terhadap alat dan mesin sedot yang mereka miliki. Razia tersebut dilakukan dengan alasan belum selesainya regulasi tentang perizinan menambang pasir sekitar sungai Progo, sehingga penambangan yang dilakukan oleh warga menjadi ilegal.

“Harapan kami sebagai rakyat, besok bisa kerja lagi. Bisa nyangoni anak sekolah. Jangan pandang kami sebagai pengusaha sekelas Freeport,” ujar Yulianto.

Yulianto mengatakan, sejak disahkannya Undang-undang Mineral dan Batu Bara (Minerba) tahun 2014, regulasi tentang perizinan penambangan yang diberlakukan di wilayah sungai Progo adalah Izin Usaha Pertambangan (IUP). Untuk mendapatkan IUP, penambang harus menyelesaikan berkas-berkas layaknya perusahaan tambang besar yang ada.

“Kami sudah pernah coba. Ada 90 berkas yang sudah kami ajukan, tapi tidak satupun yang lolos. Kami tidak mampu untuk menyewa tenaga ahli seperti perusahaan tambang yang besar,” kata penambang pasir dari Desa Argosari, Sedayu, Kabupaten Bantul itu.

Untuk itu, KPP mendesak pemerintah agar memberlakukan Izin Penambangan Rakyat (IPR) di wilayah sungai Progo. Mereka menolak penyamaan regulasi perizinan penambang antara perusahaan tambang dan warga sekitar sungai Progo. Menurut mereka, IUP hanya cocok diberlakukan kepada perusahaan tambang besar, tapi tidak untuk warga sekitar sungai yang sudah puluhan tahun mencari nafkah dari menambang pasir.

“Kami itu tidak mau jadi penebang ilegal. Kami juga mau bayar pajak. Tapi regulasinya sulit. Kami khawatir nanti akan terjadi konflik antara penambang warga dengan perusahaan tambang yang saat ini sudah mulai kelihatan aktivitas nya,” ucap Yulianto.

Merespon audiensi yang dilakukan oleh KPP, Kepala Dinas Perizinan DIY, Suyono menegaskan, sampai saat ini belum ada satupun izin tambang yang diberikan, baik kepada warga maupun perusahaan tambang. Saat ini, semua permohonan izin tambang di wilayah sungai Progo masih dalam proses.

“Saat ini semuanya banyak yang macet di IUP eksplorasi. Jadi belum ada yang diizinkan menambang,” tegasnya.

Terkait IPR yang dituntut KPP, Suyono mengatakan, hal itu mungkin saja dilakukan. Namun harus ada dua syarat yang harus terpenuhi, yaitu Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan dokumen lingkungan.

“WPR itu yang menetapkan Gubernur, kemudian diajukan ke pusat. Juga harus ada dokumen lingkungan yang mendukung. Setelah itu, IPR bisa langsung berlaku,” kata dia.

Sementara itu, Kepala Bidang ESDM Dinas Pekerja Umum DIY, Edi Indrajaya mengatakan, pihaknya tidak bisa dengan mudah memberikan izin kepada warga untuk menambang, karena saat ini semua proses perizinan sedang diawasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

“Acuan kami tetap pada UU Minerba dan ketetapan Menteri ESDM tahun 2014. Yang mungkin bisa kami lakukan saat ini adalah mengajukan revisi agar sungai Progo menjadi WPR. Tapi itu juga membutuhkan waktu sekitar lima bulan,” tutur Edi.

Mendengar penjelasan dari Dewan Eksekutif, KPP mengaku tidak puas karena harus menunggu dalam waktu yang lama untuk menerapkan WPR. Yulianto mengatakan, pihaknya meminta dicarikan jalan keluar agar warga yang menggantungkan hidupnya pada penambangan pasir bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, sambil menunggu perubahan regulasi perizinan.

“Besok bersama dengan komisi C, kami akan terjun langsung melihat kondisi sungai progo tempat penambangan warga. Agar nanti kami bisa mencari solusi apa yang perlu diambil bagi penambang,” kata Yoeke Indra Agung Laksana, ketua DPRD DIY, merespon keberatan dari KPP. (Ed-03)

Kontributor: Januardi

Pos terkait