Ilustrasi: potret kerusakan akibat tsunami yang menerjang kawasan Selat Sunda (dok. bnpb)
JAKARTA (kabarkota.com) – Bencana tsunami yang melanda kawasan Selat Sunda pada 22 Desember 2018, pukul 21.27 WIB lalu dikategorikan sebagai bencana multievent karena disebabkan oleh berbagai fenomena alam yang terjadi secara hampir bersamaan.
Berdasarkan hasil analisa bersama, setidaknya ada empat faktor penyebab bencana alam yang mengakibatkan ratusan korban meninggal dunia dan ribuan orang lainnya mengalami luka-luka. Keempat faktor yang dimaksud adalah gelombang tinggi, tsunami, erupsi gunung api, dan longsornya tebing kawah Gunung Anak Krakatau yang memicu terjadinya tsunami.
Kesimpulan tersebut diperoleh berdasarkan Hasil rapat koordinasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Badan Informasi Geospasial, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Geologi, dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, pada 23 Desember 2018.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati menjelaskan, pada 22 Desember 2018, pukul 22.00 WIB, tercatat empat tide gauge di Selat Sunda menunjukkan adanya gejala anomali permukaan air laut yang diyakini sebagai pemicu tsunami.
“Tsunami yang terjadi bukan disebabkan oleh Gempabumi Tektonik, namun akibat longsor atau flank collapse di lereng Gunung Anak Krakatau akibat erupsi Gunung tersebut,” ungkap Dwikorita melalui siaran pers yang diterima kabarkota.com, Senin (24/12/2018) malam.
Ditambahkan Dwikorita bahwa kejadian longsor lereng Gunung Anak Krakatau tercatat di sensor seismograph BMKG di Cigeulis Pandeglang (CGJI) pada pukul 21.03 WIB, juga beberapa sensor di Lampung (LWLI, BLSI), Banten (TNG/TNGI, SBJI), Jawa Barat (SKJI, CNJI, LEM).
Menurutnya, hasil analisa rekaman seismik (seismogram) dari longsoran lereng Gunung Anak Krakatau setelah dianalisa oleh BMKG, setara dengan kekuatan MLv = 3.4, dengan episenter di Gunung Anak Krakatau.
“Faktor penyebab lepasnya material di lereng anak krakatau dalam jumlah banyak adalah tremor aktivitas vulkanik dan curah hujan yang tinggi di wilayah tersebut,” imbuh mantan Rektor UGM ini.
BMKG, lanjut Dwikorita siap untuk mem-back-up peringatan dini tsunami akibat langsung ataupun tidak langsung dari erupsi gunung api yang dipantau Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (Badan Geologi), sehingga pihaknya perlu untuk mendapat akses data gempa-gempa vulkanik yang ada di sistim peringatan dini Pusat Vulkanologi
Sebagai tindak lanjut dari hasil kajian tersebut, perlunya pemasangan tide gauge di Komplek Gunung Anak Krakatau (BIG). Selain itu, perlunya cipta optik untuk kofirmasi dari citra satelit resolusi tinggi oleh LAPAN, survei udara dengan Drone oleh BPPT, serta data GPS dan data pasut oleh BMKG, BIG, Pushidrosal, dan Industri di sekitar sawasan. (Ed-01)