Datangi Wakil Rakyat pasca Relokasi, Pedagang Teras Malioboro ini Mengeluh terus Dibodohi

Audiensi Paguyuban Pedagang Tri Dharma di DPRD DIY, pada 24 Januari 2025. (dok. istimewa)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Suasana lobby gedung DPRD DIY riuh setelah satu per satu pedagang Teras Malioboro (TM) Katandan dan Beskalan dari Paguyuban Tri Dharma memasuki ruangan, menemui para wakil rakyat yang sudah menanti kedatangannya, di kursi kehormatan.

Bacaan Lainnya

Sementara ratusan pedagang lainnya menggelar aksi di teras DPRD DIY sembari menanti hasil audiensi dari perwakilan para pedagang dengan anggota dewan dan dinas terkait.

Kedatangan para pedagang, pada Jumat (24/1/2025) siang itu, bukan kali pertama untuk menyuarakan ketidakadilan yang mereka rasakan dalam proses relokasi pedagang dari selasar Malioboro hingga kini ke Teras Malioboro Ketandan dan Beskalan.

Setelah salah satu anggota dewan selaku pimpinan rapat, Taufik menyampaikan prolog beberapa menit, Ketua Paguyuban Tri Dharma, Supriyati alias Upik dipersilakan untuk menyampaikan aspirasi para pedagang.

Dalam paparannya, Upik mengungkapkan sejumlah persoalan klasik para pedagang selama proses relokasi, yang tak kunjung ditindaklanjuti oleh para pemangku kebijakan.

“Kami berkali-kali dibodohi dan bohongi,” ucap Upik kesal.

Pasalnya, rekomendasi Pansus Relokasi Pedangan Teras Malioboro yang telah disampaikan oleh DPRD Kota Yogyakarta sebelumnya, tidak direalisasikan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta. Akibatnya, sekarang ada 15 pedagang dari Paguyuban Tri Dharma yang belum mendapatkan jatah lapak di Teras Malioboro Ketandan maupun Beskalan. Sementara, ada 16 lapak ‘siluman’ yang diberikan kepada oknum pedagang yang tidak terdata dalam rekomendasi Pansus.

“UPT melakukan kecurangan, kami dipaksa mengikuti pengundian lapak Beskalan. katanya 436 tetapi yang diundi hanya 334,” sambungnya sebagaimana disiarkan dalam live tiktok di akun @arus_1998, pada 24 Januari 2025.

Selain itu, sebut Upik, lapak yang diterima di Ketandan dan Beskalan tidak manusiawi, karena ukurannya yang kecil-kecil, dan layout yang menyulitkan bagi pedagang untuk menata dagangan mereka.

“Kami ingin pengundian diulang dan data dibenahi dulu. Gunakan rekomendasi Pansus,” pintanya.

Ditambah lagi, kata dia, infrastruktur, seperti akses jalan masuk Ketandan dan Beskalan pun belum sepenuhnya rampung, tetapi pedagang dipaksa berjualan mulai 25 Januari 2025. Jika tidak membuka lapaknya, maka mereka akan terkena Surat Peringatan (SP).

“Arogan sekali pemerintah sekarang,” anggap perempuan berkacamata ini.

Salah satu pedagang Teras Malioboro Ketandan, Eni Susanti Rusmini mengaku, dirinya mendapatkan lapak yang sempit di lantai 2 dan beberapa hari buka, tetapi dagangannya tidak laku. Padahal, dirinya harus membiayai anaknya yang masih sekolah, dan menghidupi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).

“Saya sudah dua bulan belum melunasi SPP sekolah anak saya,” ucap Eni sedih.

Untuk itu, mereka meminta agar para pedagang diizinkan berjualan di selasar Malioboro, sebelum ada kejelasan tentang nasib mereka di Teras Malioboro Ketandan dan Beskalan. Terlebih, mereka juga masih terkendala masalah permodalan untuk membuka lapak di Teras Malioboro Ketandan dan Beskala. Mengingat, selama berjualan di Teras Malioboro 2, pendapatan mereka turun drastis setiap harinya sehingga kebanyakan pedagang kehabisan modal usaha.

Aksi Paguyuban padagang Tri Dharma di teras gedung DPRD DIY, pada 24 Januari 2025. (Dok. Istimewa)

Saling Lempar Tanggung-Jawab antar Pemangku Kebijakan

Menanggapi aspirasi tersebut, perwakilan dari Dinas Koperasi dan UMKM DIY, Wijanarko berdalih, kebijakan tentang pembukaan lapak pedagang mulai tanggal 25 Januari merupakan masukan dari para pimpinan, dan pengelola berharap ini bisa menjadi momentum kerjasama yang yang baik. Sekaligus menghindari lingkaran setan dalam strategi promosi. Yakni, menghindari kekecewaan pengunjung yang sudah datang, karena pedagang yang mereka cari belum buka atau pun lapak yang buka tidak bisa memberikan dampak positif bagi pengelola yang sudah mengiklankan.

“Kalau mengenai fasilitas masuk, itu memang masih dalam proses pembangunan yang terus kami kejar, terutama dari sisi utara atau selatan Ramai Mall,” katanya.

Namun demikian, lanjut Wijanarko, akses masuk dari depan Teras Malioboro Beskalan sudah dibantu dengan petunjuk-petunjuk arah menuju area tengah. Selain itu juga pembangunan ruang pertunjukan di tengah Teras Malioboro yang harapannya akan bisa menarik pengunjung lebih masuk ke dalam Teras Malioboro.

Sementara itu, Pimpinan DPRD DIY, Taufik menambahkan bahwa terkait kebijakan tentang pengundian lapak, dan izin berjualan di selasar Malioboro adalah ranah Pemerintah Kota Yogyakarta.

Namun, pernyataan tersebut langsung mendapat penolakan dari audiens. Mereka merasa dipermainkan, dengan sikap para pemangku kebijakan yang terkesan saling lempar tanggung-jawab.

Kuasa Hukum Paguyuban Tri Dharma dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Rakha Ramadhan menyampaikan, sekarang Teras Malioboro sudah menjadi kewenangan Pemda DIY, melalui Dinas Koperasi dan UMKM.

“Jadi, kita sudah tidak berbicara dengan Pemkot lagi,” tegasnya.

Oleh karenya, pihaknya mendesak, agar pembicaraan lebih lanjut terkait persoalan ini dilakukan bersama Komisi B DPRD DIY, Dinas Koperasi UMKM DIY, Dinas Kebudayaan DIY, beserta para pedagang Teras Malioboro.

“Tujuan kami jelas, 15 pedagang kembali mendapatkan lapaknya,” tuturnya lagi.

Pihaknya juga menawarkan solusi bagi 15 pedagang yang belum mendapatkan lapak, bisa dimasukkan ke Teras Maliboro dengan menarik 16 lapak yang diberikan kepada para oknum pedagang yang tidak terdaftar sebelumnya.

Di akhir audiensi, DPRD DIY berjanji akan menggelar pertemuan kembali dengan para pedagang, DPRD, dan dinas-dinas terkait untuk membahas lebih lanjut persoalan ini, pada 31 Januari mendatang. (Rep-01)

Pos terkait