Desa Wisata: Antara Pemberdayaan Masyarakat dan Pengentasan Kemiskinan

Ilustrasi: Studio Alam Gamplong (sutriyati/kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Masalah kemiskinan, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) masih menjadi PR bagi pemerintah. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, jumlah penduduk miskin pada Maret 2018 di DIY masih sebanyak 460,10 ribu orang. Sementara pada periode September 2017 jumlahnya 466,33 ribu orang.

Bacaan Lainnya

Meski diklaim ada penurunan penduduk miskin sebanyak 6,23 ribu orang atau 1,34 persen dalam kurun waktu satu semester terakhir, namun jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan Penduduk Indonesia secara Nasional yang persentasenya 9,82%, tingkat kemiskinan DIY masih jauh lebih tinggi dari rata2 tersebut.

Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk mendorong percepatan pengentasan kemiskinan. Salah satunya melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat di pedesaan maupun perkotaan, di sektor pariwisata. Apa bentuknya?

Desa ataupun kampung wisata adalah satu solusi yang dipilih untuk mewujudkan pemberdayaan ekonomi masyarakat di sektor pariwisata, yang salah satu tujuan utamanya untuk pengentasan kemiskinan. Dinas Pariwisata DIY dalam Laporan Akhir Kajian Pengembangan Desa Wisata di DIY (2014) mendefinisikan desa/kampung wisata adalah suatu wilayah dengan luasan tertentu dan memiliki potensi keunikan daya tarik wisata yang khas, dengan
komunitas masyarakatnya yang mampu menciptakan perpaduan berbagai daya tarik wisata dan fasilitas pendukungnya untuk
menarik kunjungan wisatawan. Termasuk, tumbuhnya fasilitas akomodasi yang disediakan oleh masyarakat setempat.

Bermunculannya desa/kampung wisata tersebut, awalnya tak lepas dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pariwisata yang mulai dicanangkan oleh Presiden RI, pada 31 April 2007 lalu.

Ketika itu, pemerintah pusat melalui Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara (APBN) Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengucurkan dana bantuan desa wisata. Dana bantuan tersebut sifatnya stimulan dan dirancang untuk memberi kesempatan kepada masyarakat, dalam mengembangkan kapasitas masyarakat dan memperluas kesempatan usaha dalam bidang kepariwisataan. Pengelolaan dana bantuan itu juga dipripritaskan pada kegiatan kolektif dan langsung menyentuh masyarakat miskin.

Kini, setelah PNPM dihapus oleh pemerintah pusat, keberadaan desa wisata sebagian besar masih tetap bertahan, meski dibiayai secara swakelola oleh masyarakat setempat. Data Statistik Kepariwisataan DIY Tahun 2017 mencatat, di tahun 2016 ada 51 desa wisata di Sleman, Bantul, Kulon Progo, dan Gunung Kidul, serta satu kampung wisata di Kota Yogyakarta. Angka ini tentu belum termasuk desa-desa ataupun kampung-kampung wisata baru yang bermunculan sepanjang tahun 2017 – 2018 ini.

Sementara jumlah pengunjung Desa/kampung Wisata di DIY sepanjang tahun 2016 sebanyak 3.489.518 wisatawan, yang terbagi atas 3.474.653 (99.5%) wisatawan nusantara (wisnus) dan sisanya wisatawan mancanegara (wisman) 14.865 (0.5%). Dari jumlah tersebut, 13 desa wisata di Kabupaten Bantul dikunjungi 1.120.223 wisnus dan 5.540 wisman. Kabupaten Gunung Kidul dengan empat desa wisata didatangi 983.510 wisnus dan 2.145 wisman. Seangkan, 10 desa wisata di Kulon Progo total pengunjungnya 822.657 wisnus, serta 6.506 wisman. Sleman yang tercatat ada 24 desa wisata, kunjungannya 548.107 wisnus, dan 363 wisman. Terakhir kota Yogyakarta dengan satu kampung wisata tercatat jumlah wisnus 156, dan wisman 311 orang. Sumber: Statistik Kepariwisataan DIY 2017

Lalu seperti apa dampak keberadaan desa/kampung wisata yang sudah sekian tahun itu, dalam kaitannya dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pengentasan kemiskinan? Faktanya, mengelola desa/kampung wisata itu tak semudah membalikkan tangan.

Pemrakarsa Desa Wisata Kalakijo, Bantul, Megarini Puspasari mengaku tak gampang menggerakkan masyarakat untuk turut mengembangkan keberadaan desa wisata yang telah dibangun sejak tiga tahun terakhir.

Desa Wisata yang terletak di dusun Kalakijo, Desa Guwasari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, DIY mengandalkan produk makanan berupa ingkung dan emping melinjo, di samping kerajinan batik dan wahana outbond serta kesenian gejog lesung sebagai pendukungnya.

“Mencari penggerak untuk memulai sesuatu yang baru itu tidak gampang,” kata Mega kepada kabarkota.com, 1 Agustus 2018.

Namun begitu, kehadiran desa wisata Kalakijo, menurut Mega, cukup memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Keterlibatan dari sekitar 150 keluarga untuk mengurusi 8 resto ingkung kuali, sudah membuka lapangan kerja bagi seperlima penduduk setempat. Sementara 20% dari keuntungannya juga disumbangkan, dalam bentuk pendanaan untuk layanan kesehatan, dan sosial masyarakat.

Lain halnya dengan cerita dari Desa Wisata Gamplong, Sleman. Maulana yang sejak setahun terakhir menjadi salah satu pengurus Studio Alam Gamplong mengatakan, dampak dari kehadiran studio yang masih relatif baru ini setidaknya bisa saling menopang dalam hal promosi wisata, dengan keberadaan sentra industri tenun yang telah ada lebih dulu.

“Orang yang dulu tahunya hanya tahu Gamplong itu sebagai sentra industri tenun saja, setelah datang ke sini jadi tahu ternyata ada studio alam ini. Atau juga sebaliknya, orang yang awalnya hanya tahu tentang studio ini, begitu datang mereka juga jadi tahu ada sentra industri tenun di sini,” jelas Maulana, saat ditemui di kompleks studio alam Gamplong.

Lebih dari itu, pihaknya berharap keberadaan bangunan set film yang pada 15 Juli 2018 dikunjungi Presiden RI tersebut bisa menjadi media pembelajaran bagi masyarakat, di bidang perfilman.

Dari segi pertumbuhan ekonomi, bapak empat anak ini menambahkan bahwa keberadaan studio alam Gamplong ini juga menjadi pemancing warga sekitar supaya lebih kreatif memanfaatkan peluang usaha untuk menggerakkan roda perekonomian masyarakat. Terlebih nantinya banyak artis yang datang dan membutuhkan akomodasi serta penginapan-penginapan.

Bangunan set film Sultan Agung Raja Mataram tersebut berdiri di atas lahan kas desa seluas 2 hektar yang disewa dari Pemerintah Desa Sumberrahayu, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman, DIY, selama 20 tahun.

Ditemui terpisah, kepala Desa Sumberrahayu, Sigit Tri Susanto menyatakan, pengelolaan desa wisata Gamplong di wilayahnya sepenuhnya menjadi ranah pihak kedua. Pemerintah desa hanya memberikan “pinjaman” lahan senilai Rp 26 juta per tahun, yang kemudian pemasukan tersebut, menurutnya digunakan untuk kepentingan masyarakat Sumberrahayu pada umumnya. (sutriyati)

Pos terkait