Forum Cik Ditiro Yogya Menolak Lupa Dosa Rezim Jokowi

Forum Cik Ditiro Yogyakarta saat menggelar konferensi pers di PSPK UGM, pada 8 Januari 2025. (dok. kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Forum Cik Ditiro (FCD) Yogyakarta menolak lupa kesalahan atau dosa di rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Penolakan tersebut disampaikan dalam “Catatan Akhir Tahun 2024 dan Pernyataan Awal Tahun 2025 Forum Cik Ditiro: Menolak Lupa Dosa Jokowi dan Mewaspadai Prabowo”, di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, pada 8 Januari 2025.

Inisiator FCD Yogyakarta, Masduki berpandangan bahwa dalam dalam 10 tahun rezim Jokowi hingga 5 tahun pemerintahan Prabowo Subianto ke depan terjadi gejala political paradox (paradoks politik). Artinya, masyarakat seakan-akan menyaksikan satu proses pemilihan yang ekstra politik tetapi hasilnya justru paradoks (kebalikan).

“Hasilnya adalah oligarki dan dinasti politik” tegas Guru Besar Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini.

Selain itu, pihaknya juga menduga, ada upaya penguasa politik sekarang, dalam hal ini Prabowo, yang secara sistematis membawa masyarakat Indonesia untuk melupakan dosa-dosa yang dilakukan oleh pemimpin politik sebelumnya, terutama rezim Jokowi.

“Ini paling mengerikan karena ada upaya political forgotten,” sesalnya.

Sebab, Masduki menganggap bahwa sebenarnya yang terjadi dalam lima tahun terakhir adalah korupsi politik. Pasalnya, DPR, MK, MA dikontrol oleh penguasa yang untuk mencoba menawarkan narasi politik dinasti agar menjadi sesuatu yang normal.

Padahal seharusnya, lanjut Masduki, perlu penciptaan kesadaran untuk melawan upaya melupakan kesalahan atau dosa yang telah dilakukan oleh mantan Presiden Jokowi tersebut.

“Ini yang mendorong kami membuat acara ini sebagai upaya untuk melawan lupa represi demokrasi,” sambungnya.

Menurutnya, represi demokrasi dalam 5 tahun terakhir yang paling penting adalah kebebasan berekspresi yang sangat rendah. Civil rights (hak-hak sipil) mengalami tekanan yang luar biasa.

Civil rights ini menjadi persoalan yang mungkin masih akan kita saksikan dalam lima tahun ke depan,” anggap Masduki.

Untuk itu, oposisi alternatif di luar parlemen (politik ekstraparlementer) harus bisa hidup dari masyarakat sipil, termasuk dari para akademisi dan jurnalis.

Hal senada juga disampaikan Tri Wahyu KH sebagai bagian dari FCD Yogyakarta.

“Kami mendorong kekuatan oposisi alternatif di luar parlemen yang transaksional,” ucap Wahyu.

Terlebih, Direktur Indonesia Court Monitoring (ICM) Yogyakarta ini menambahkan bahwa di era sekarang, netizen menjadi kekuatan baru sebagai bagian dari pilar demokrasi di republik ini. Mereka menjadi warga berdaya yang memanfaatkan medsos sebagai penyeimbang kekuasaan yang ditakuti oleh penguasa. (Rep-01)

Pos terkait