YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) pascaorde baru hampir terlaksana empat kali di Indonesia. Namun hingga sekarang tidak ada jaminan lebih berkualitas.
Masalah tiap penyelenggaraan pemilu adalah penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang hingga saat ini tetap saja bermasalah. Karena itulah diperkirakan angka golput (golongan putih) pada Pemilu 2014 mencapai 30-40 persen.
Menurut dosen Fisipol UGM, Tadjuddin Noer Effendi, sumber kekisruhan DPT adalah penetapan Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) yang digunakan Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri). Pada Pemilu 2014 ini, pemerintah menetapkan DP4 berdasarkan e-KTP dan Sistem Informasi Administasi Kependudukan (SIAK).
"Dua proyek tersebut memiliki tujuan berbeda sehingga menghasilkan data yang berbeda pula", jelas Tadjuddin kepada wartawan, usai menjadi pembicara dalam Forum Diskusi Kesiapan DIY Menyongsong Pemilu 2014, di ruang Paripurna 1 DPRD DIY, siang ini (Selasa, 4/2).
Menurut guru besar ini, kerancuan dua sumber data tersebut mengakibatkan munculnya Nomer Induk Kependudukan (NIK) ganda atau pun NIK invalid. Hal lain yang dipertanyakan adalah sikap pemerintah yang tidak melibatkan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam verifikasi DPT sebagaimana Pemilu sebelumnya.
Berdasarkan perkiraan DP4, data jumlah pemilih menurut BPS sebanyak 187.167.273 jiwa. Sedangkan data Kemendagri sebanyak 190 juta pemilih yang terbagi atas 136 juta dari E-KTP dan 54 dari SIAK. Dari kedua data tersebut, terdapat selisih 2.832.727 pemilih.
Lebih lanjut Tadjuddin menyatakan kekhawatirannya, jika DPT ini masih bermasalah, maka tingkat golput (golongan putih) bisa meningkat. "Saya khawatir, karena ini masih ruwet, jangan-jangan angka golput masih tinggi," tandasnya. Ia memperkirakan, golput pada Pemilu 2014 berkisar 30-40 persen. Tapi, selain disebabkan persoalan administrasi, munculnya golput juga karena kesadaran masyarakat terhadap politik yang tinggi.
Anggota Komisi A DPRD DIY, Arif Noor Hartanto, berpendapat, mestinya pemerintah dapat memilah perkara antara administrasi kependudukan dengan Pemilu. "Data kependudukan dapat dijadikan sebagai acuan penyediaan logistik dan daya jangkau sosialisasi, tapi legalitasnya tidak perlu dikait-kaitkan dengan proses pendataan kependudukan", ungkap Arif. (tya)
SUTRIYATI