Aktivis Greenpeace Indonesia menunjukkan salah satu sampah plastik dari luar negeri yang tertimbun di TPA Burangkeng (dok. greenpeace indonesia)
JAKARTA (kabarkota.com) – Sampah masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Selama ini, belum ada upaya yang cukup efektif guna menangani tumpukan sampah yang menggunung, khususnya di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST).
Namun di tengah masih sulitnya mengatasi persoalan sampah tersebut, pabrik kertas di Jawa Timur justru kedapatan mendatangkan sampah dari luar negeri untuk bahan baku produksi mereka.
Meski yang diimpor sampah utamanya kertas bekas, namun diperkirakan 5% dari sampah impor tersebut berupa materi non kertas bekas, seperti plastik, besi, dan material lainnya. Sampah non kertas tersebut bukan tidak mungkin justru menambah pencemaran lingkungan karena tidak digunakan sebagai campuran bahan pembuatan kertas daur ulang.
Tak hanya di Jawa Timur, pada bulan Agustus 2019 ini, Greenpeace Indonesia juga menemukan sampah impor yang terbengkalai juga ditemukan di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Burangkeng, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Muharram Atha Rasyadi selaku Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia mengungkapkan, sampah impor yang diduga berasal dari Australia, Amerika Serikat, hingga Swedia itu berupa sampah produk makanan manusia, makanan hewan, kantong plastik belanja, hingga kartu parkir.
Menurutnya, sampah-sampah tersebut bahkan sebagian tertera keterangan daur ulang. Hal itu menunjukkan bahwa daur ulang sampah yang selama ini masih menjadi andalan solusi pihak korporasi, khususnya produsen kebutuhan sehari-hari, pada kenyataannya tak menjadi pemecahan masalah dari krisis sampah plastik ini. Mengingat, masih banyak sampah plastik yang tidak masuk dalam proses daur ulang, sebagaimana yang terlihat di TPA Burangkeng.
Di lain pihak, Atha mendesak, agar pemerintah mendorong mereka memenuhi kewajibannya sesuai dengan prinsip Extended Producer Responsibility (EPR), sebagaimana telah diadopsi dalam Undang-undang Pengelolaan Sampah.
Pasal 15 Undang-Undang No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah tegas menyebut bahwa produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya, yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam.
Bahaya Sampah Plastik
Sementata Juru Kampanye Media Greenpeace Indonesia, Ester Meryana menjelaskan, tumpukan sampah plastik yang kemudian dibakar akan membahayakan karena menyebabkan polutan yang tinggi.
“Karena ada yang tidak terpakai atau didaur ulang, maka salah satu opsinya kemudian dibakar,” sesal Mery saat dihubungi kabarkota.com, Rabu (14/8/2019).
Kalaupun dibiarkan begitu sajan, kata Mery, sampah plastik juga dapat merusak lingkungan, karena bisa menjadi mikroplastik yang terserap tanah dan mengendap, lalu masuk ke jalur air tanah yang kemungkinan airnya dikonsumsi manusia dan juga hewan.
Sebuah laporan terbaru dari Center for International Environmental Law (CIEL) yang berjudul “Plastic&Health: The Hidden Costs of a Plastic Planet” menyimpulkan, plastik menimbulkan risiko berbeda terhadap kesehatan manusia di setiap tahapan siklus hidupnya. Resiko kesehatan itu dipicu dari bahan kimia berbahaya yang dilepaskan selama ekstraksi dan pembuatan bahan baku, paparan zat kimia tambahan selama penggunaan, dan polusi terhadap lingkungan dan makanan kita dalam bentuk limbah.
Partikel-partikel mikroplastik, seperti fragmen dan serat, dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui kontak langsung, tertelan, atau terhirup, juga dapat berkontribusi pada berbagai dampak kesehatan, karena ukurannya yang sangat kecil sehingga memiliki kemampuan menembus jaringan dan sel, dan sebagai konsekuensi dari beban kompleks bahan kimia yang dapat dibawa.
Oleh karenanya Mery meminta agar pemerintah segera menghentikan aliran impor sampah.
“Kita saja masih belum menemukan solusi untuk sampah sendiri, malah ditambah sampah dari negara lain. Itu akan menambahkan pekerjaan,” ucapnya. (Rep-01/Ed-02)