Gubernur DKI Jakarta ke-17, Anies Baswedan (dok. kabarkota.com)
SLEMAN (kabarkota.com) – Pengamat Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ahmad Norma Permata memprediksi, Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta ke-17, Anies Baswedan memiliki peluang besar untuk membangun Organisasi Masyarakat (Ormas) atau pun Partai Politik (Parpol) sebagai kendaraan politik di masa depan.
Prediksi tersebut disampaikan Norma, menyusul adanya keinginan Anies untuk membentuk Ormas maupun partai, usai gagal diusung oleh Parpol sebagai Bakal Calon Gubernur DKI Jakarta, pada Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) 2024 ini.
Norma menilai, secara pribadi, mantan calon Presiden RI pada Pilpres 2024 itu memiliki modal cukup kuat, dalam hal pengalaman dan popularitas. Pengalamannya sebagai Gubernur Jakarta cukup membuat Anies memahami liku-liku dunia politik.
“Popularitasnya sebagai orang yang pernah menjadi calon presiden dengan perolehan suara puluhan juta juga membuktikan bahwa Anies sudah cukup populer,” kata Norma kepada kabarkota.com, pada Sabtu (14/9/2024).
Menurut Norma, Ormas maupun Parpol yang dibangun bisa menjadi kendaraan yang memadai sebagai penantang pemimpin nasional, jika memenuhi tiga hal.
Pertama, ada ceruk politik yang dapat ia bangun, di tengah banyaknya Ormas dan Parpol saat ini. Sebab secara teori, sistem politik di suatu negara akan stabil atau tertutup, jika Ormas atau pun Parpol yang ada sudah merepresentasikan keragaman kepentingan politik di masyarakat. Artinya semua kelompok sudah terwakili.
Sementara sistem akan tetap terbuka untuk membangun ormas atau parpol baru, jika masih ada ruang bagi sekelompok masyarakat dalam jumlah yang cukup besar belum terwakili aspirasinya.
“Menurut saya, saat ini semakin terbuka ruang adanya kelompok yang tidak terwakili oleh Ormas maupun Parpol, yakni kelompok masyarakat kelas menengah kritis,” sebut Norma.
Ketika Ormas dan Parpol besar telah dikooptasi oleh rezim, lanjut Norma, maka kelompok kritis yang tidak puas terhadap kinerja pemerintah, semakin kehilangan representasi di panggung pertarungan politik.
Kedua, mampu merumuskan artikulasi sederhana namun tajam untuk merangkum ketidakpuasan kelompok kritis yang ada di masyarakat.
Norma mencontohkan, 20 tahun silam, Amien Rais menjadi model yang tidak hanya populer sebagai pimpinan Ormas Muhammadiyah sekaligus representasi dari kelompok kritis pada waktu itu, melainkan juga mampu merumuskan artikulasi politik yang sederhana sekaligus tajam, dengan ungkapan KKN atau Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme.
Dalam hal ini, Norma menilai, Anies belum terlihat mampu membuat rumusan sederhana yang dapat merepresentasikan atau mewakili perasaan masyarakat kritis tersebut. Anies cenderung membuat analisis teknis dan kompleks sebagai bentuk kritik terhadap pemerintah.
“Formulasi yang kompleks itu hanya dapat dipahami oleh orang berpendidikan dan disampaikan dalam forum-forum yang terbatas,” tegasnya.
Sementara, lanjut Norma, mobilisasi dukungan politik juga menyertakan kemampuan untuk menggerakkan masyarakat kritis tidak berpendidikan yang memerlukan rumusan maupun gagasan sederhana. Sebab, gagasan sederhana dan jargonistik itu yang nantinya bermanfaat sebagai alat kampanye di ruang terbuka, bukan forum diskusi tertutup.
“Apabila dia gagal merumuskan gagasan secara strategis, maka gagasan yang dirumuskan justru akan mudah dikooptasi oleh Parpol yang ada sehingga dia bisa kehilangan poin,” sambugnya.
Ketiga, berkaitan dengan anggaran atau dukungan dana. Di Indonesia, kegiatan politik adalah kegiatan berbiaya tinggi. Oleh karenanya, perlu dipastikan sejauh mana kemampuan Anies memobilisasi sumber daya, baik finansial maupun fasilitas untuk mewadahi Ormas atau pun Parpol yang akan didirikan. Hanya saja, ini tergantung kemampuan Anies memanfaatkan popularitasnya serta merumuskan jargon-jargon perubahan yang bisa dipahami oleh massa secara luas.
Ini, kata Norma, lantaran dunia politik hampir sama dengan dunia bisnis. Jika ada startup yang di atas kertas memiliki prospek sangat baik, maka tentu saja investor akan berdatangan. Baik dalam bentuk uang maupun fasilitas lainnya.
Selain itu, Norma juga menyebut bahwa tantangan bagi orang yang memiliki Ormas atau pun Parpol adalah berhadapan dengan rezim dan oligarki. Secara teori, dia tidak mungkin 100 persen bermain bersih, tanpa terlibat dalam permainan politik yang ada. Hal yang seharusnya dilakukan Anies adalah menjadikan gerakan itu nantinya sebagai bagian dari rezim dan oligarki, namun memberikan warna lebih baik dibandingkan dengan kondisi saat ini.
Oleh karenanya, diperlukan kekuatan politik nyata yang mampu berada di kekuasaan, sekaligus memberikan warna yang berkeadilan guna mewakili suara rakyat. Sebab, jika hanya membangun Ormas atau Parpol untuk kelompok kritis saja, maka tidak akan berbeda dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang sudah ada.
“Dalam konteks ini, dibutuhkan kematangan sikap sebagai politisi sekaligus negarawan. Yakni, tidak anti politik yang notabene kotor, namun juga bernyali dalam menyuarakan keadilan di tengah kekotoran itu,” tuturnya.
Sebelumnya, saat berdialog dengan para generasi muda di Wisma Kagama Yogyakarta pada 9 September lalu, Anies Baswedan sempat menyampaikan keinginannya membangun Ormas ataupun partai yang benar-benar berorientasi menfasilitasi orang berkarya, dan bekerja untuk masyarakat, supaya bisa bergabung bersama dalam sebuah wadah yang tengah ia rumuskan.
Anies juga menyadari bahwa salah satu tantangan pengelolaan Ormas atau Parpol adalah soal pembiayaan. Namun pihaknya melihat bahwa generasi baru sekarang merupakan generasi yang mau iuran. Anies mencontohkan, ketika di Jakarta akan menggelar aksi menyelamatkan Mahkamah Konstitusi, itu bisa terwujud dengan pembiayaan secara patungan.
“Saya merasa, hari ini kita mempunyai cukup sumber daya dari kelas menengah, dan pribadi yang peduli, serta mau terlibat langsung,” ucap Anies. (Rep-01)