Ilustrasi (sutriyati/kabarkota.com)
SLEMAN (kabarkota.com) – Kepala Stasiun Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (Staklim BMKG) DIY, Agus Sudaryatno memperkìrakan, musim penghujan di DIY akan dimulai pada bulan November 2018 mendatang.
Hal tersebut disampaikan Agus kepada kabarkota.com, menyusul adanya siaran pers dari BMKG Pusat, pada Kamis (6/9/2018), yang menyebut awal musim hujan tahun ini akan terjadi antara bulan Oktober – Desember 2018.
Nantinya, kata Agus, hujan pada November I akan terjadi di wilayah DIY bagian utara, kemudian wilayah DIY bagian tengah akan memasuki musim hujan pada November II, dan wilayah selatan akan mulai hujan di November III. Agus menjelaskan, musim penghujan di wilayah utara lebih awal dibandingkan wilayah lainnya, karena kelembaban udara di Yogyakarta bagian utara memang lebih tinggi daripada wilayah tengah dan selatan.
Terkait dengan cuaca mendung yang terjadi di Yogyakarta, akhir-akhir ini, menurut Agus, itu karena pengaruh aktivitas Madden Jullian Oscillation (MJO) atau massa udara basah sehingga berpotensi menurunkan hujan. “Namun hujannya masih sporadis,” tegas Agus.
Untuk itu, pihaknya juga mengimbau agar masyarakat menghemat penggunaan air bersih. Mengingat, musim hujan masih terhitung lama datangnya. “Sebaiknya tidak menggunakan air bersih untuk sektor pertanian,” pintanya.
Musim Hujan akan Pengaruhi Aktivitas Gunung Merapi?
Disinggung mengenai aktivitas Merapi, utamanya pasca terhentuknya kubah baru di puncak gunung api tersebut, Agus berpendapat bahwa, ketika ada tumpukan lahar dalam jumlah yang besar di sana, maka potensi bahayanya adalah banjir lahar di aliran sungai, saat hujan lebat turun di puncak.
Sementara berdasarkan data dari Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), per 5 September 2018, aktivitas Merapi masih berstatus waspada (level II), dengan volume kubah lava baru sebesar 78.000 meter kubik, dan pertumbuhan dalam kategori rendah, yakni 1.000 meter kubik per hari.
Meski begitu BPPTKG tetap meminta agar radius 3 km dari puncak G.Merapi dikosongkan dari aktivitas penduduk, di samping pelarangan pendakian, kecuali untuk kepentingan mitigasi bencana.
Waspada Cuaca Ekstrim
Sebelumnya, Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati menjelaskan sebanyak 78 ZOM (Zona Musim) (22.8%) di wilayah Sumatera, sebagian besar Jawa, NTT, sebagian Sulawesi, awal musim hujan terjadi pada Oktober 2018. Sedangkan, yang awal mulai November 2018 sebanyak 147 ZOM (43.0%) meliputi Sumatera, Jawa, Bali, NTB, NTT, Sulawesi, Kalimantan, Papua, dan 85 ZOM (24.9%) di bulan Desember 2018.
Berdasarkan pengamatan BMKG sepekan terakhirn, jelas Dwikorita, terdapat aktivitas MJO (Madden Jullian Oscillation) atau massa udara basah dan fenomena gelombang atmosfer lainnya (Rossby dan Kelvin Wave) dengan intensitas netral tidak signifikan. Akibatnya, memberikan signifikansi pada peningkatan curah hujan di beberapa wilayah di Indonesia.
Terlebih, londisi tersebut diperkuat dengan adanya pelemahan pusat tekanan tinggi di wilayah Australia yang mengakibatkan dorongan massa udara kering dan dingin dari Australia semakin melemah, sehingga massa udara di wilayah Indonesia khususnya bagian selatan ekuator relatif menjadi lebih lembab.
Lebih lanjut mantan rektor UGM ini mengimbau, agar masyarakat mewaspadai potensi hujan lebat disertai kilat/petir, dan angin kencang di sekitar wilayah Indonesia dalam periode 3 hari ke depan, antara Aceh, Sumatera Barat, Bengkulu, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku, Papua Barat, dan Papua.
Bagi masyarakat pesisir dan para nelayan, Dwikorita berharap, agar mewaspadai potensi gelombang tinggi 2.5 hingga 4.0 meter hingga 7 hari ke depan, terutama di Perairan Bengkulu hingga barat Lampung, Perairan selatan Banten, Samudra Hindia barat Bengkulu Hingga Lampung, Samudra Hindia selatan Banten.
(sutriyati)