Ilustrasi (dok. pixabay)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Lembaga pendidikan seperti sekolah semestinya bisa menjadi institusi strategis untuk mencegah terjadinya berbagai tindak kekerasan, termasuk kekerasan seksual pada anak.
Namun, Pada 2 Mei 2023 lalu Komisi Nasional anti kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merilis, pada tahun 2023 tercatat ada 37 kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, yang angkanya masih 12 kasus. Bahkan, guru, dosen, dan tokoh agama yang berkiprah di dunia pendidikan turut menjadi pelaku kekerasan.
Mantan komisioner Komnas Perempuan, Budi Wahyuni menilai, kekerasan seksual di sekolah yang termasuk satu dari tiga dosa besar pendidikan merupakan hal yang mendesak untuk segera diatasi.
“Kita boleh melihat angka tetapi yang juga penting diperhatikan adalah kedalaman kasusnya sekarang. Sebab kalau dulu hamil di luar nikah itu tuntutannya hanya menikah, tapi sekarang mereka dibunuh, diracun, dan dimutilasi. Kedalaman kasus ini yang sangat memprihatinkan,” jelas Budi di Yogyakarta, pada 2 Mei 2023.
Di sisi lain, sekolah sangat minim dalam memberikan pendidikan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) kepada para siswa sehingga kebanyakan dari anak-anak mencari informasi dari internet yang tidak semua bisa dipertanggung-jawabkan kebenarannya.
Salah guru di Yogyakarta, Niken Sasanti mengaku, selama ini pendidikan tentang HKSR di lingkungan sekolah memang sangat minim, karena selain ada keterbatasan menyangkut kebijakan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), ada problem kultural, seperti tabu untuk membicarakan apalagi mengajarkan tentang pendidikan seksual kepada anak-anak.
Sementara pengamat pendidikan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Khamim Zarkasih Putro berpendapat bahwa ada perbedaan antara pendidikan seks dan pendidikan seksual yang perlu dipahami.
Menurutnya, sebenarnya dalam ajaran agama, pendidikan seks (sex education) sudah ada. Misalnya, anjuran agar anak di usia tertentu harus dipisahkan tempat tidurnya dengan orang tua.
Termasuk, dalam berpakaian, anak juga disesuaikan dengan jenis kelaminnya.
Sedangkan pendidikan seksual (sexual education), jelas Khamim, lebih menjelaskan secara detail tentang organ-organ reproduksi manusia dan ini di kalangan pendidik memang masih menjadi pro kontra.
“Terkadang yang menjadi pertimbangan, pendidikan seksual yang dijelaskan secara detail di sekolah apakah akan mengurangi tingkat kekerasan seksual atau justru menggurui . Itu masih menjadi perdebatan,” papar Khamim kepada kabarkota.com, Kamis (4/5/2023).
Jika pendidikan seksual akan diterapkan di sekolah, Khamim menekankan bahwa itu harus benar-benar memberikan efek yang positif untuk upaya pencegahan kekerasan seksual, bukan justru membuat anak masuk dalam kubangan permasalahan tersebut.
“Dalam pendidikan seksual itu yang terpenting adalah memberikan penjelasan kepada mereka tentang efek negatif yang akan diperoleh jika mereka melakukan hal-hal yang seharusnya belum bisa mereka lakukan,” tegasnya.
Khamim menilai, pendidikan seksual di lingkungan sekolah bisa saja dilakukan, misalnya dengan menggelar kegiatan tersendiri di sekolah dengan mengundang para pemateri, seperti dari alumni, orang yang disegani di kalangan anak-anak, maupun orang-orang yang berkompeten untuk menjelaskan tentang hal tersebut.
Pendidikan seksual, lanjutnya, bisa juga disisipkan oleh para guru mata pelajaran yang ada berkaitan, seperti IPA dan agama.
“Saya kira, etika berkomunikasi akan memberikan nilai dalam upaya pengurangan kekerasan seksual,” sambungnya. (Rep-01)