Diskusi Prodi Lintas Budaya Center for Religious and Cross Cultural Studies di pasca sarjana UGM (23/9/2016) (Anisatul Umah/kabarkota.com)
SLEMAN (kabarkota.com) – Kasus Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di Yogyakarta terjadi pada akhir 2015. Di mana Dokter Rica Tri Handayani menghilang pada 30 Desember 2015 bersama anaknya yang baru berusia 5 bulan Zafran Alif Wicaksono. Hilangnya Rica dan anaknya karena keikutsertaan dalam organisasi Gafatar.
Kewaspadaan masyarakat dengan adanya organisasi Gafatar yang dianggap sesat, menyebabkan anggota eks Gafatar mendapatkan tekanan, salah satunya tekanan sosial. Salah satu anggota eks Gafatar, Hadi Suparyono menceritakan saat kepulangan anggota eks Gafatar dikawal aparat dan membuat mereka terstigma dan tersudutkan dimasyarakat.
“Pemerintah bilang akan membantu Gafatar, tapi saat kami pulang kami dikawal aparat. Ini justru memberikan kami sanksi sosial,” ungkapnya dalam Diskusi Prodi Lintas Budaya Center for Religious and Cross Cultural Studies dengan tema “Negara dan penanganan Konflik Sosial, Kasus Gafatar/Milla Abraham” di pasca sarjana UGM (23/9/2016).
Hadi menceritakan lebih lanjut, sebelum kasus ini mencuat ke publik, dirinya hidup dan bertetangga tanpa ada masalah. Menurutnya semangat Gafatar adalah semangat Milla Abraham di mana semua kitab suci dijadikan referensi, sehingga siapa saja boleh bergabung.
“Kami menjadikan semua kitab suci sebagai refrensi. Tidak hanya Al-Quran saja, tapi tidak mencampuradukkan,” ungkapnya.
Dari sisi kehidupan eks Gafatar, tambah Hadi, satu bulan setelah anggota eks Gafatar angkat kaki dari Kalimantan, tanah mereka di sana sudah ada yang mengeklaim kepemilikannya. Petani dari anggota eks Gafatar mampu menghasilkan panen dalam waktu enam bulan di tanah gambut, lebih cepat dari masa ideal yang diperkirakan tiga tahun.
Serikat Jurnalis untuk Keberagaman, Tantowi Anwari mengatakan ada diskriminasi dalam pemberitaan Gafatar. Diskriminasi yang dialami Gafatar sampai tingkat RT. Di daerah Jawa, beberapa harus melapor rutin dan KTPnya di cabut.
“Pengembangan piece jurnalisme yang menginisiatifkan perdamaian. Di mana pers sebagai gerakan sosial. Media mempunyai aturan kode etik, mestinya teman-teman jurnalis patuh kesana,” tuturnya.
Dari Prodi Agama Lintas Budaya UGM, Mohammad Iqbal Ahnaf memandang kasus ini dari hukum. Pemerintah mengidentifikasi kasus ini dari ranah agama, tanpa mengidentifikasi mereka dari ranah petani.
Sejauh ini yang dilakukan hanya negosiasi isu yang menghasilkan kata sesat dan tidak sesat, tetapi tidak melihat wilayah kemanusiaan. Iqbal mengharapkan agar pemerintah tidak hanya berkonsultasi dengan ahli agama saja, tetapi juga kepada ahli resolusi konflik.
“Yang perlu adalah pihak-pihak melihat realitas yang tejadi dipihak yang kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan. Sehingga orang akan berfikir ulang apa sih yang sedang terjadi,” ungkapnya. (Rep-04/Ed-01)