Aktivitas Mbah Lasiyo saat berada di kebun pisang miliknya (dok. kabarkota.coom)
BANTUL (kabarkota.com) – Saat menelusuri jalanan beraspal di pedesaan menuju Padukuhan Ponggok, Kalurahan Sidomulyo, Kapanewon (Kecamatan) Bambanglipuro, Kabupaten Bantul, DIY, terlihat kebun pohon pisang yang menghijau di dekat pekarangan rumah-rumah warga.
Sesampainya di sekretariat Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air (GP3A) Satuhu D.I Mejing, kabarkota.com disambut oleh kakek jangkung yang tak lain adalah sosok pionir yang menggalakkan penanaman pohon pisang di Padukuhan Ponggok, Lasiyo Syaifuddin atau Mbah Lasiyo.
Di pekarang samping sekretariat tersebut, terlihat ratusan batang bibit pohon pisang dari berbagai jenis yang dikembangkan sendiri oleh Mbah Lasiyo. Sejak tahun 2006 silam hingga sekarang, menurutnya sudah ada sekitar 30 jenis pisang yang ia hasilkan. Terlihat juga ada bak penimbun sampah-sampah organik yang sedang diproses menjadi pupuk kompos untuk tanamannya. Sedangkan di bagian belakang sekretariat yang juga bersebelahan dengan kediamannya, Mbah Lasiyo menanam berbagai jenis tanaman pangan, seperti jagung, terong, serta tanaman kecubung dan rimpang sebagai bahan dasar pembuatan pestisida organik.
Ketika kabarkota.com dipersilakan masuk ke sekrtariat, terlihat banyak foto dan piala penghargaan yang dipajang di ruangan tersebut. Mbah Lasiyo kemudian mengajak ke salah satu kebun pisang yang ia kelola, sekitar 100 meter dari sekretariat tersebut. Di kebun seluas 800 meter persegi itu, ia mulai bercerita awal mulanya mengembangkan budidaya pohon pisang.
Pasca gempa besar di DIY, 27 Mei 2006 silam, kondisi warga masyarakat, khususnya di Padukuhan Ponggok sangat memprihatinkan. Bangunan rumah warga banyak yang rata dengan tanah hingga 9 bulan, warga merasakan kekalutan, karena belum mempunyai inisiatif melakukan sesuatu.
“Saya menyampaikan kepada Lurah Sidomulyo supaya warga masyarakat tergugah, jangan sampai hanya melamun terus karena kondisi seperti ini, dengan mengusulkan penanaman tanaman pisang untuk mengangkat warga supaya mulai berkegiatan dan lurah menyejui,” kata Mbah Lasiyo kepada kabarkota.com, 14 Juli 2022.
Persetujuan dari pemerintah kalurahan setempat diwujudkan dengan mengeluarkan Peraturan Desa (Perdes) untuk memberikan dukungan kepada warga di Sidomulyo untuk menanam pohon pisang, termasuk pemberian bantuan bibit ke warga masyarakat, melalui kelompok tani, pada tahun 2006 – 2007.
Di tahun 2008, Mbah Lasiyo mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pelatihan di Jakarta tentang penanaman pohon pisang dan mendapatkan proyek jangka pendek dan jangka panjang (2008 – 2012) untuk mengembangkan tanamannya tersebut.
“Setelah mendapatkan bantuan itu, maka ide yang kami ambil adalah pelatihan budidaya tanaman pisang, mulai dari pembibitan, penanaman, pengendalian hama terpadu, pengolahan, penjualan, hingga marketing,” ungkapnya.
Dengan berbekal pengetahuan tersebut, pada tahun 2012, pertama kali Mbah Lasiyo meraih penghargaan tingkat nasional atas usahanya tersebut. Di tahun ini pula, ia bersama beberapa warga Ponggok mendirikan Koperasi Agro Mirasa Boga Yogyakarta (Amboy) untuk mewadahi pengembangan budidaya tanaman pisangnya. Berkat usahanya ini pula, tempat Mbah Lasiyo menjadi rujukan untuk mengenal dan mempelajari tentang budidaya tanaman pisang organik.
“Tahun 2015, kami kedatangan tamu dari Italia yang sangat terkesan dan senang dengan penggunaan pupuk dan pestisida organik, serta agen hayati dan pestisida nabati. Jadi yang diminati adalah keorganikannya itu,” tuturnya.
Tamu tersebut, kata Mbah Lasiyo, sempat menyampaikan akan mengundangnya ke Italia pada tahun 2016. Awalnya ia menganggap itu hanya sebuah candaan, tetapi setahun kemudian, undangan tersebut benar-benar disampaikan dan Mbah Lasiyo berangkat ke Italia, pada 21 September. Selama 9 hari di negeri Eropa tersebut, Ia dilibatkan dalam pembuatan film tentang pisang Indonesia dengan penggunaan pestisida organik sebagaimana yang ia produksi selama ini.
“Jadi saya tidak hanya dari Ponggok, Bantul, tapi saya membawa nama Indonesia,” ucapnya bangga.
Produksi Pupuk Organik dari Limbah dan Pestisida dari Rimpang
setelah kembali dari kebun pisang, Mbah Lasiyo menunjukkan bak di depan rumah yang ia gunakan untuk pembibitan pohon pisang. Kemudian dia mulai menyiapkan bahan-bahan untuk membuat pestisida organik. Rimpang dan daun kecumbung dicacah kemudian ia masukkan ke dalam air mendidih, setelah dianggap cukup matang, kemudian didinginkan dan dimasukkan ke dalam bak-bak air untuk proses fermentasi sebelum digunakan. Selain digunakan sendiri, produk pestisidanya juga dijual per liter Rp 25 ribu.
Begitu juga dengan produksi pupuk kompos, ia membuat bak sampah besar dengan kapasitas sekitar 2 ton yang diisi dengan sampah-sampah organik dan kotoran hewan, kemudian difermentasi hingga menjadi pupuk yang siap digunakan dan sebagian dijual hingga ke luar daerah seperti Bali, Medan, Surabaya, dan Semarang
“Saya membuat pupuk sendiri karena dengan produksi sendiri, maka saya tidak perlu tergantung pada ketersediaan pupuk subsidi dari pemerintah atau lainnya. Ini original dan organik, dan saya dicintai orang asing juga karena bisa memanfaatkan limbah yang ada di lingkungan,” paparnya.
“Buah Manis” yang Dinikmati Mbah Lasiyo dari Budidaya Pohon Pisang
Pada awal merintis budidaya pisang, Mbah Lasiyo tak memungkiri bahwa ada cibiran-cibiran yang meragukan usahanya akan membuahkan hasil. Namun itu tak mematahkan semangatnya untuk terus berinovasi.
“Cibiran banyak, itu wajar dan biasa, tapi saya tenang. Misalnya ada yang mengatakan hanya sampah seperti itu untuk apa dimanfaatkan? Dibuang di sungai saja, selesai. Tapi saya melarang pembuangan sampah di sungai sehingga tercetus bak sampah di Bantul, melalui gerakan irigasi bersih pada tahun 2013,” kata Ketua II Forum Gerakan irigasi Bersih Kabupaten Bantul ini.
Dari hasil jerih payahnya selama bertahun-tahun itu, akhirnya Mbah Lasiyo bisa menikmati “buah manis” dari budidaya tanaman pisangnya. Dia yang dulu hanya menanam seratusan batang pohon pisang, sekarang lahan yang ia sewa untuk perkebunan pisang hampir 1 hektar yang tersebar di enam titik.
Bapak dua anak yang sebelumnya bekerja sebagai kuli di toko kelontong selama 25 tahun itu pun, kini terangkat taraf hidupnya. Dengan menanam 1.000 batang pohon pisang, ddengan modal Rp 50 ribu per batang, maka ia memperkirakan dalam satu periode penanaman bisa mendapatkan untung sekitar Rp 25 ribu per batang.
Sementara ketika ditanya terkait dukungan pemerintah, Mbah Lasiyo mengaku memang masih terhitung minim tetapi ia pantang menyerah, dan lebih memilih untuk bergerak secara mandiri.
“Alhamdulillah ini proyek sudah lepas. Saya bisa mandiri dan bisa menambah lokasi,” sambungnya.
Mbah Lasiyo menyebut bahwa kunci sukses menjadi petani itu harus mempunyai modal 3M, yakni
melihat, memahami, menjalankan atau melaksanakan.
“Saya senangnya berinovasi, dan pisang itu filosofinya Pituduh e Gesang (petunjuk hidup) sehingga harus dilestarikan,” katanya.
Walhi Yogya: Petani Pisang perlu Dukungan Pasar
Dihubungi terpisah, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta, Halik Sandera mengapresiasi upaya yang dilakukan Mbah Lasiyo yang membudidayakan banyak varietas pisang sebagai bagian dari pelestarian keanekaragaman tanaman.
“Penggunaan pupuk dan pertisida hayati bermanfaat banyak hal. Di lingkungan bermanfaat mencegah pemcemaran air dan tanah dibandingkan pupuk dan pertisida kimia. Dari aspek kesehatan, buah pisang lebih sehat karena menggunakan pupuk dan Pestisida hayati,” anggap Halik.
Untuk itu, Walhi Yogyakarta mendorong agar pemerintah memberikan dukungan untuk pemasaran produksi pisang lokal tersebut. Mengingat, kebanyakan budidaya tanaman pisang dilakukan secara turun temurun, namun harga pisang selalu jauh di bawah harga dari perkebunan pisang skala besar, dan pisang impor. (Rep-01)