Membaca Krisis Ekonomi Tanpa Mengerutkan Dahi (Bagian Kedua – Habis)

Ilustrasi (getty images)

 

Khusus untuk Indonesia yang hidup dalam iklim dua musim, kemarau dan penghujan, kesulitan dan keberlimpahan ekonomi warga juga harus diperhatikan. Kesulitan ekonomi warga yang terjadi secara masif akan menjadi faktor penyumbang krisis. Pola pengeluaran warga yang selalu tinggi pada periode tertentu, harus pula diperhatikan sebagai penyumbang krisis. Potensi krisis ekonomi semakin besar jika dampak krisis global menyatu dengan krisis di tingkat ekonomi masyarakat.

Setiap tahun, di akhir musim penghujan, secara reguler krisis di sektor pertanian dimulai.  Masa pancaroba yang biasanya terjadi antara bulan Maret hingga Juli itu selalu menjadi musim sulit. Langkanya air menyebabkan sawah ladang kering dan tak bisa ditanami tanaman pangan. Cuaca yang lebih dingin menyebabkan binatang ternak, ikan, unggas mudah mati atau susah tumbuh. Penyakit hewan biasa datang pada pancaroba. Jika situasi ini terjadi berulang, dan tak ada bantuan pemerintah untuk mengatasi, maka potensi bahaya meninggi, berasal dari penderitaan petani.  
 
Pola konsumsi dan pengeluaran warga masyarakat juga harus diperhatikan. Sebagaimana selalu terjadi, selama puasa, Lebaran, Lebaran Haji, Natal, dan Tahun Baru,  pengeluaran warga selalu tinggi. Demikian juga pengeluaran tinggi ketika ada kebutuhan awal tahun baru masuk sekolah dan kuliah serta bayar SPP. (Baca juga: Mengatasi Krisis Ekonomi (Bagian-1))

Potensi krisis ekonomi akan besar jika terjadi krisis global yang berdampak ke dalam negeri, dan menumpuk dengan masa sulit di pertanian apalagi gagal panen, berimpitan atau berurutan deangan masa pengeluaran tingi selama puasa dan lebaran,  lebaran haji, natalan dan tahun baru, serta bayar biaya masuk sekolah kuliah, dan bayar SPP.

Jalan keluar
Tentu saja ada jalan keluar. Secara teoritis, jika terjadi krisis maka pemerintah tak boleh diam. Pemerintah harus turun tangan dengan cara melakukan pengeluaran atau pembelanjaan (goverment expenditure) menggunakan dana APBN. Pembangunan harus dilakukan dengan mengedepankan penyerapan tenaga kerja, atau dilakukan di sektor yang bisa menjadi pemicu atau pendorong agar swasta bergerak, serta masyarakat mendapatkan pekerjaan.

Selain itu, dilakukan pula pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat paling miskin. Pendekatan sisi pengeluaran ini di ekonomi modern diajukan Keynes untuk menerapi krisis ekonomi dunia tahun 1930-an. Ketika Perang Dunia kedua usai, prinsip dasar pemulihan ekonomi mengikuti resep Keynes sukses dijalankan untuk memulihkan Eropa.

Dalam praktek, penerapan ajaran Keynes  dengan pengeluaran pemerintah itu, biasanya dikombinaikan dengan pendekatan pendekatan Rational Expectation yang berangkat dari kerangka berpikir ekonomi klasik.

Galibnya krisis, biasanya  menyebabkan pihak-pihak swasta menahan diri. Mereka cenderung  memikirkan nasib sendiri-sendiri. Masalahnya, jika semua pihak memikirkan diri sendiri, tidak begerak secara bersamaan, maka ekonomi akan berhenti atau melambat. Karena itu, swasta  harus diyakinkan agar bergerak. Diawali dengan pemerintah yang memulai bergerak.

Soal pemerintah harus bergerak ini,  penting sekali. Pemerintah tidak boleh pasif karena jika pasif, maka jalan pemecahan krisis tidak terjadi. Jika pemerintah melakukan pengeluaran besar secara benar dan mengabaikan krisis, swasta akan ikut bergerak. Selanjutnya masyarakat akan mendapatkan manfaat. Tenaga kerja akan terserap, mendapatkan pendapatan, melakukan belanja, dan pada gilirannya gilirannya, ekonomi akan normal kembali, dan krisis ekonomi akan teratasi. Tentu, selalu akan bersifat sementara. Krisis akan terjadi lagi, dan nanti harus disikapi kembali.

Saya sendiri tentu saja yakin, pemerintahan Jokowi-JK paham atas pelajaran ekonomi itu. JK bahkan sudah mengingatkan bahwa bangsa Indonesia akan memasuki periode sulit ketika memasuki Ramadan. Tetapi, peringatan dari seorang petinggi negeri harus pula hati hati. Jika salah dalam komunikasi, akan ditangapi negatif, pesimis, dan akibatnya krisis benar-benar terjadi dan berdampak akut.

Masalah lain yang harus diperhatikan adalah penerapan ajaran ekonomi dalam krisis, di mana pemerintah harus melakukan pembelanjaan, tidak akan efektif, jika birokrasi tak mendukung. Penataan birokrasi agar segera dapat bekerja dan menyerap dana APBN dengan cara yang tepat, harus segera diselesaikan dalam hitungan minggu atau bulan. Humas yang buruk di kantor presiden dan para menteri, yang tidak mendukung terciptanya ekspektasi yang rasional yang ditujukan untuk swasta dan masyarakat, harus segera diperbaiki.

Swasta yang berpikir jangka panjang, bersedia mengalami kerugian dalam jangka pendek, atau mendapatkan keuntungan yang berkurang dengan mengedepankan terserapnya tenaga kerja para pegawainya, akan amat membantu mengatasi krisis. Demikian juga masyarakat yang yakin diri mampu menyelesaikan kesulitan, saling membantu antar warga, dan keluarga, akan menjadi kunci penyelesaian krisis ekonomi Indonesia, yang kini mulai dirasakan.

Penulis: M. Faried cahyono (jurnalis senior, nyambi ngajar di Sekolah Vokasi FNE UGM)

Pos terkait